# Tampak subyektif Subyek-yangmemandang
Subyekyang-memotret
Dalam buku Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek:
Perbincangan tentang Ada (2005), berdasarkan pengakuan para juru foto dalam
Photography Speaks (Brooks, 1989) maupun analisis para pengamat fotografi
(Barthes, Berger, Messaris, Soerjoatmodjo, Sontag, Strassler), saya telah
mempertegas padan-paralel keber-Ada-an (1) juru foto dengan obyek fotonya di
satu pihak; (2) pengamat foto dengan foto yang menjadi obyek pengamatannya di
pihak lain; dan dalam peleburan abstraksinya masih mendapatkan kebergandaan
Ada. Dalam Kisah Mata Edisi 2 (2016), saya menepis perlunya peleburan abstraksi
atas paralelitas padan Juru Foto–Obyek Foto dan padan Pemandang Foto–Karya Foto
untuk menemukan Ada. Namun, saya menambahkannya dengan perbincangan tentang
lapisan-lapisan visual yang berkemungkinan ditembus seorang juru foto, dalam
proses menuju momentum klik! Baru saya sadari kemudian, saya belum
memperbincangkan padanannya: Apa yang berlangsung pada pemandang foto ketika
memandang foto? Di sini catatan itu saya teruskan, sekaligus mengujikannya
kepada diri sendiri, dengan menjadikan foto-foto Senjakala Kalijodo karya RA
Vadin sebagai obyek pengamatan. Betapapun, saya hanya mungkin sampai kepada
perbincangan itu jika mengulanginya dengan lebih tertata, seperti berikut.
Tampak Dunia bagi
Juru Foto
Terdapat tiga lapisan konseptual di depan mata manusia yang
menentukan makna ketertampakan di hadapannya. Lapisan pertama adalah Tampak
Optis bagi mata tak buta Pada Tampak Optis, hanya terdapat makna obyektif—jika
masih bisa disebut makna—bahwa apa pun yang terjangkau oleh daya tangkap mata
akan terlihat. Disebut obyektif, karena ketertampakan hadir oleh fungsi mata
sebagai instrumen, yakni alat untuk melihat. Dalam hal ini, manusia non-subyek,
karena pikirannya tidak bekerja sebagai subyek, tetap dapat melihat karena
matanya memang berfungsi, tetapi yang dilihatnya tak dapat hadir sebagai makna.
Ibarat kata mobil datang ke arahnya, tak akan disadari sebagai bahaya, meski
dapat dilihatnya—karena ketertampakan hadir sebatas Tampak Optis. Lapisan kedua
adalah Tampak Kultural Pada Tampak Kultural, pencerapan menghadirkan
ketertampakan ke dalam dua kategori, yakni (a) Tampak Visual Dikenal, jika
ketertampakannya bermakna, seperti daun yang dikenalinya sebagai daun, dan daun
ini akan bermakna baginya sejauh pengenalannya atas eksistensi daun; dan (b)
Tampak Visual Tak Dikenal, jika ketertampakannya tidak menjadi makna, seperti
pemulung melihat buku-buku sebagai tumpukan kertas yang bisa dijual kiloan, dan
bukan karena isinya. Buku bermakna terutama karena isinya, tetapi bagi pemulung
makna buku tergantung seberapa berat kertasnya. Suatu obyek dikenal atau tak
dikenal tertentukan oleh konstruksi budaya Subyek-yang-Memandang, yang jika
kemudian memotret akan disebut Subyek-yang-Memotret, karena akan sampai pada
lapisan selanjutnya. Lapisan ketiga adalah Tampak Fotografis Pada Tampak
Fotografis, ketertampakan menjadi khusus, yakni hadir dalam seleksi keinginan
dan kebutuhan seorang juru visual, dalam hal ini juru foto, apakah ia seorang
pewarta, dokumentalis, peneliti, pengiklan, atau seniman foto. Faktor keinginan
akan mencerap (a) Tampak Personal, dan faktor kebutuhan akan mencerap (b)
Tampak Fungsional. Dalam kategorisasi makna seperti ini, ketertampakan visual
dapat dipilih dari yang dipilah, tapi dapat pula terleburkan, jika suatu obyek
memenuhi keinginan dan kebutuhan sekaligus—sehingga Tampak Personal sekaligus
hadir sebagai Tampak Fungsional. Seorang pewarta foto yang tidak berselera
memotret pipa-pipa baja akan tetap memotretnya jika tugas menuntutnya, dan
dengan suka hati memotret aktris favoritnya, ada maupun tidak ada penugasan
untuk itu; sama seperti seorang ilmuwan dengan lensa mikro memotret, misalnya,
unsur-unsur pembentuk spesies cacing pita baru.
Tampak Foto bagi
Pemandang
Kesahihan Subyek-yang-Memandang berlangsung dalam proses
yang sepintas lalu merupakan kebalikannya, yakni mulai dari fotonya, tetapi
bukan untuk menjejaki proses yang sudah dilalui juru foto, melainkan untuk
membongkarnya dalam pembermaknaan Subyek-yang-Memandang. Saya kira proses
menuju foto pun melalui lapisan visual pertama, yakni Tampak Optis, tempat saya
sebagai pemandang foto proyek Senjakala Kalijodo karya RA Vadin, menyelusuri
setiap bingkai foto dalam ketertampakannya yang hitam-putih, dengan hanya satu
foto berwarna sebagai foto yang terakhir. Memasuki lapisan kedua, saya kenali
puing-puing penggusuran, yang memperlihatkan sejumlah penanda seperti botol-botol
minuman keras, poster perempuan seksi, bekas bar, gambar perempuan yang
diperlihatkan payudaranya, konstruksi ”tempat tidur” semen bertuliskan FOR SEX
yang semestinya terdapat kasur di atasnya—foto-foto ini saya kira berhasil
menunjukkan bahwa tempat yang digusur itu adalah wilayah kehidupan malam,
bahkan lebih spesifik lagi daerah hitam atau lampu merah. Meskipun begitu, saya
kenali pula penanda-penanda yang terdudukkan untuk bermakna sebaliknya, bahwa
terdapat ”orang-orang biasa” yang sebagaimana warga khalayak mana pun berangkat
kerja pada pagi hari, anak-anak mereka bersekolah dan mendapat ijazah,
beribadah, tetapi ikut tergusur—foto-foto ini bagaikan artefak masa lalu bagi
lokasi Kalijodo masa kini, yang telah menjadi pusat rekreasi serba positif dan
modern, seperti ditunjukkan foto terakhir yang berwarna, bagaikan antitesa
peradaban tubuh nan naluriah dalam istilah ”profesi tertua”. Secara keseluruhan
foto-foto ini meruapkan kondisi kumuh, yang tampak ironis dalam kecemerlangan
digitalnya. Keterpukauan atas pencapaian teknologi itu tak tersingkirkan oleh
fakta muram yang merupakan informasi foto-fotonya, karena secara visual memang
tak dapat diingkari. Foto-fotonya terlalu bersih untuk tempat kumuh.
Hitam-putihnya masih dramatik, seperti karakter spesifik hitam-putih, tetapi
hitam-putih metalik. Itulah Tampak Visual Dikenal bagi saya, selebihnya bukan
tak terlihat, melainkan masuk kategori Tampak Visual Tak Dikenal, yang sangat
mungkin merupakan gejala kekebalan, alias ”sudah immune”, akibat terlalu seringnya
melihat foto penggusuran. Memasuki lapisan ketiga, Tampak Fotografis bagi
Subyek-yang-Memotret, saya kira dapat menjadi Tampak Subyektif bagi
Subyek-yang-Memandang, karena kategori Tampak Personal maupun Tampak Fungsional
tergantung dan tertentukan oleh kedudukan atau sudut pandang
Subyek-yang-Memandang itu. Dalam hal saya, Tampak Personal maupun Tampak
Fungsional terleburkan dan mengarah kepada hanya satu foto. Dalam seluruh ruang
bingkai foto itu hanya terdapat satu lukisan.
”Jaka Tarub”: Lukisan,
Repro, Foto
Adapun lukisan itu sendiri cukup terkenal, jika tidak sangat
dikenal, dan sangat saya kenali, sehingga tentunya dengan seketika berada di
lapisan kedua, bahkan satu-satunya yang masih tampak pada Tampak Subyektif
sebagai lapisan ketiga. Lukisan itu berjudul ”Jaka Tarub” (cat minyak di atas
kanvas, 170 cm x 255 cm), karya Basuki Abdullah, yang paling sering mengalami
reproduksi, baik dalam cetakan maupun dilukis ulang, sampai menjadi klise atas
tema tersebut. Dalam foto Vadin, gambar itu mengalami cropping, dan tersematkan
pada dinding berlapis tegel. Bagaimana gambar ini mendapatkan maknanya dalam
konteks penggusuran daerah lampu merah Kalijodo? (Lukisan ”Jaka Tarub” dan foto
atas reproduksinya di Kalijodo sebelum digusur dapat dilihat di https://duniasukab.com/?p=1100
atau http://wp.me/p44nD-hK). Pertama, jika legenda lahirnya nama Kalijodo
memang tentang jodoh, atau pencarian jodoh, maka Jaka Tarub yang mengintip
tujuh bidadari mandi itu mendapatkan jodoh bidadari dengan mencuri busana salah
satunya, karena membuat bidadari bernama Nawangwulan itu tak bisa terbang
pulang. Kedua, terhadap para pekerja seks komersial, yang menjadi obyek
pemerasan sindikat prostitusi, identifikasi diri sebagai bidadari yang
kehilangan busana itu mungkin. Keterbukaan tubuh-tubuh bidadari itu juga sangat
mungkin membuat reproduksi lukisan Jaka Tarub terpasang di sana. Betapapun,
cerita dari lukisan itu terbandingkan dengan kondisi mereka. Ketiga, bahwa
Nawangwulan menemukan busana di lumbung yang kosong padi, sehingga bisa terbang
pulang ke asalnya, menjadi impian yang bisa diharapkan terjadi kepada mereka,
sehingga lukisan itu mendapatkan maknanya. Keterhubungan antara kisah bidadari
dalam lukisan itu, dan nasib perempuan pekerja seks komersial, sahih sebagai
produk bongkar-pasang berbagai pertimbangan dalam wacana penggusuran di
Kalijodo, obyek foto-foto RA Vadin. Dalam wacana seperti itulah, foto yang satu
ini hadir sebagai Tampak Subyektif, bagi saya sebagai Subyek-yang-Memandang.
Bagi saya, inilah jalan bagi Subyek-yang-Memandang, untuk memberlangsungkan
pembermaknaannya sendiri, tanpa harus mengacu—apa lagi tergantung
sepenuhnya—kepada Subyek-yang-Memotret sebagai sumber makna, yang memang tidak
perlu dianggap tersahih. Jadi bukan hanya pengarang yang mati ketika tulisannya
dibaca, tetapi juga juru foto ketika hasil pemotretannya dipandang, yang juga
berarti dihidupkan.[Kompas15 Jul 2017SENO GUMIRA AJIDARMA Wartawan]