SEBAGAI contoh
pertama adalah foto antrean. Memotret sekadar orang yang berderet menuju suatu
titik sungguh membutuhkan pendekatan yang baik agar fotonya tidak tampil
membosankan.
Hal pertama yang dicari seorang
fotografer saat akan memotret antrean adalah mencari sebuah titik perhatian
yang akan menjadi point of interest
(POI) fotonya.
Pada keempat foto antrean yang ada
di halaman ini terlihat bahwa POI keempat foto adalah “anak kecil yang
terjepit”. Apakah keempat fotografer pada keempat foto itu saling meniru?
Tidaklah begitu.
Foto “tertua” pada keempat foto itu
adalah karya Agus Susanto dari Kompas, yaitu foto yang di kiri bawah. Diambil
tahun 2005, foto tersebut menggambarkan antrean minyak tanah. Adapun foto kanan
atas adalah foto yang dibuat tahun 2007 pada kelaparan di Pakistan. Foto kiri
atas dibuat tahun 2010, juga di Pakistan, saat terjadi banjir besar di negara
itu.
Tak ada satu pun dari keempat
fotografer antrean yang sempat melihat karya lainnya. Keempat fotografer
mendapat ide yang sama dari berbagai sumber, mungkin dari internet atau juga
media cetak mana pun.
Sebenarnya, foto antrean dengan
menonjolkan anak kecil terjepit di bawah sadar telah menjadi “template” umum di
kalangan jurnalis foto. Dan karena sekarang sudah menjadi klise, pendekatan
“anak kecil terjepit” sebaiknya memang tidak dipakai lagi.
Pendekatan boneka
Kemudian perhatikan tujuh foto di
kelompok bawah halaman ini. Apa yang menonjol?
Boneka! Benar…boneka selalu ada di
pojok bawah ketujuh foto itu. Enam foto di sebelah kiri adalah foto-foto dari
Timur Tengah. Pada beberapa pengeboman, tentu ada anak keicl yang jadi korban.
Dan biasanya “jejak” akan adanya korban anak keicl adalah dari ditemukannya
boneka di tempat kejadian.
Seorang fotografer biasanya akan
membuat POI pada boneka yang ditemukan itu. Dengan demikian, pas sudah fotonya
menceritakan kekejaman perang yang tak kenal usia.
Namun, kalau foto boneka muncul
begitu banyak, timbulah pertanyaan: apakah boneka itu benar-benar ada di lapangan? Apakah tidak mungkin
fotografernya membawa boneka sendiri?
Pada foto kanan bawah, pada
peristiwa banjir lahar dingin Merapi pun, akhirnya “foto boneka” muncul!
Saat ini dunia teknologi sudah
begitu maju. Satu foto yang bagus kan dilihat miliaran manusia. Foto yang
idenya mirip dengan foto hebat sebelumnya pelan tapi pasti tidak akan dianggap
sebagai foto yang baik. Menghindari foto klise saat ini sudah menjadi kewajiban
jurnalis foto mana pun yang ingin maju.
Klise-klise lain
Selain kedua contoh di atas, foto
klise lain dalam dunia jurnalistik, misalnay foto jam di tengah bencana. Kita
tentu ingat benar saat tsunami Aceh 2004 lalu ada foto jam yang ditemukan di
lumpur. Jam itu sudah mati, dan posisi saat dia mati tepat ketika tsunami
terjadi. Foto jam ini juga muncul saat gempa Yogya tahun 2006.
Perwarta foto Kompas, Lucky
Pransiska, menceritakan bahwa saat dai meliput bencana di Mentawai akhr tahun
lalu, beberapa fotografer sudah siap akan “mengatur” sebuah jam yang ditemukan
di lapangan.
Dalam kancah foto politik, foto-foto
klise antara lain pemukulan gong, pengguntingan pita, atau seorang pemimpin
berpidato dengna posisi tangan menunjuk ke atas.
Memang tida ada yang salah dengan
foto yang klise sejauh fotonya bisam
enyampaikan pesan dengan baik dan benar. Namun, dalam dunia yagn seharusnya
memang makin baik, jurnalis foto di mana pun dituntut untu selalu berpikir,
berpikir, dan berpikir saat membuat foto.
Foto adal hberita juga, maka foto
yang baik adalah santapan mata dan batin yang sangat baik. [Sumber : Kompas,
Selasa, 10 Mei 2011 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]
#Dengan kedua kaki palsu, Agus
Murtado tetap hidup normal dan berbagai perjalanannya.
#Kedua kaki Agus Murtado adalah kaki
palsu
#Melayani Pelanggan
#Dengan ruang kerja sempit dan
segala keterbatasan fisik, Agus Murtado bekerja keras mencari nafkah.
#Hanya dengan tangan kanan yang
berfungsi normal, Agus Murtado memanfaatkan mulut sebagai pengganti tangan
kirinya.
DESCRIPTION: perkembangan teknologi yang
makin baik membuat makin mudahnya sebuah berita, baik tulis maupun foto,
diakses siapa pun. Foto-foto yang menakjubkan dalam waktu singkat sudah menjadi
santapan mata dan batin siapa pun yang punya akses atasnya. Di sastu sisi,
kemapuan membuat foto bagus mudah “menular” di antara sesame fotografer. Tapi,
di sisi lain, muncul pula foto-foto yang menjadi klise karena idenya menjadi
terlalu umum. Memagn tak ada penjiplakan secara langsung di sini. Yang ada
adalah endapan ide di benak hasil melihat foto lain, lalu ide itu menjadi
pemicu saat membuat sebuah foto dalam situasi yang mirip.
KEYWORDS: antrean,point of
interest,poi,jadi klise,lingkup jurnalistik,foto-foto.
TAGS : Agus Murtado.