FOTO PEKAN
INI
#Saat puncak gerhana (Ternate), yang kontras rendah dan beberapa belas
detik setelah puncak gerhana yang kontrasnya leibh baik pulus bonus “cincin
berlian” (Palu).
Cameracanon.blogspot.com – GERHANA matahari total yang melalui
beberapa wilayah Indonesia pada 9 Maret lalu adalah gerhana matahari yang
paling banyak dipotret dibandingkan gerhana-gerhana sebelumnya. Selain ini
merupakan GMT pertama di Indonesia pada era fotografi digital ketika fotografi
telah menjadi hal yang sangat membumi, euphoria akan kejadian ini juga dipacu
aneka media yang ada.
Sebelum 2016 ini, harian kompas
mengabadikan gerhana matahari total (GMT) pada 1995 di Sangir oleh fotografer
Julian Sihombing (almarhum), memakai film. Saya yang juga memotret gerhana
memakai film pada 1998 (gerhana matahari cincin) merasakan bahwa pemotretan
memakai sarana digital jauh lebih mudah dan pasti. Pada 1995 dan 1998 itu, baik saya maupun
Julian cukup boros melakukan bracketing
karena hasil pemotretan sungguh-sungguh baru diketahui setelah film diproses.
Pemilihan tempat
Pemotretan GMT akan gagal total
manakala langit di tempat pemotretan tidak bersih, baik oleh mendung mauun
polusi udara. Kalau dulu, pada era film, bracketing dilakukan untuk
pemotretannya, pada tahun ini bracketing
dilakukan dalam memilih tempat pemotretannya.
Harian kompas memutuskan memotret
GMT 2016 dari banyak tempat, yaitu Pelembang (2 fotografer), Belitung, Ternate,
dan Palu. Akhirnya, hanay Ternate dan Palu yang menghasilkan foto terbaik.
Walau begitu, foto dari Ternate masih diwarnai langit yang tidak terlalu cerah.
Catatan terpenting dari pemotretan
GMT kali ini adalah, saat terjadi puncak gerhana, kontras yang ada sangatlah
rendah. Selain ISO tinggi harus dipakai (ISO 800 ke atas) untuk mendapatkan
kecepatan rana yang memadai (minimal 1/60 agar fotonya tajam karena baik bulan
maupun matahari bergerak uckup cepat), pemofokusan sebaiknay memakai mode
manual. Dari pengalaman lalu, otofokus sulit didapat saat puncak GMT terjadi.
Sementara momen beberapa belas detik
setelah puncak GMT, yaitu saat Bulan sudah tidak menutup Matahari secara total
lagi, itu adala hsaat memotret terbaik. Selain kontras lebih baik, otofokus
bisa berfungsi lagi, pemunculan titik sinar yang sering disebut “cincin
berlian” juga menjadi hal khas sebuah GMT.
Fotografer Yuniadhi Agung yang
memotret cincin berlian di halama ini memakai lensa 300 mm /f2,8 yang memakai
telekonverter 2X. dari EXIF terliaht bahwa diafragma yang terjadi adalah f/36.
Ini adalah angka akibat perpanjangan converter karena sesungguhnya Yuniadhi
memasang f/18 di lensa 300 mm-nya. Maka, efek f/36 ini membuat titik berlian
menjadi berbintang alias berpendar.
Sementara menyangkut white balance (WB), Heru Sri Kumoro di
Ternate memotret puncak gerhana memakai WB daylight.
Akibatnya, fotonya menjadi kebiruan. Sesungguhnya puncak gerhana adalah blue hour karena cahaya yang sampai ke
bumi adalah cahaya yang melewati langit biru, bukan dari Matahari langsung.
Yuniadhi memakai WB auto yang berkerja baik
sehingga fotonya “normal”.
Film rontgen dan kaca las
Hal lain yang mencuat adalah
kenyataan bahwa banyak barang bisa dipakai sebagai filter untuk memotret
gerhana ini, terutama gerhana parsial. Raditya Helabumi dan Raditya Darian
Suryahutama memotret memakai film rontgen di Tugu Tani, Jakarta, dan di
Tangerang. Sementera Ferganata Indra Riatmoko memotret memakai kaca las di
Candi Borobudur.[Kompas, Selasa 15 Maret 2016 |Teks dan Foto Arbain RAmbey ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar