Pekan lalu, rubrik KLIK telah
membahas soal etika dalam foto jurnalistik. Kali ini yang akan kita bahas
adalah estetika, atau masalah keindahan visual sebuah foto. Almarhum Kartono
Ryadi, redaktur fotografi harian Kompas 1980-1996 dan 2000-2003, mengatakan
bahwa foto jurnalistik berhak dan wajib tampil indah.
Kartono Ryadi yang biasa disapa KR
ini menegaskan bahwa foto yang biasa-biasa saja tidaklah menarik orang untuk
menyerap informasinya. “Koran tidak cuma jualan informasi. Kalau penampilan
sebuah koran tidak menarik, orang tidak akan tertarik membaca atau membelinya”
kata KR kalau memberikan pembekalan kepada fotografer baru Kompas.
Lebih jauh, KR pernah mengatakan
ini, “Kalau memotret usahakan menjauhi kamerawan televisi. Jangan sampai fotomu
cuma versi diam dari adegan yang sudah disaksikan orang di televisi.”
Berpikir Beda
Pedoman yang diberikan almarhum KR
sebenarnya masalah estetika. Seorang jurnalis foto harus selalu berpikir untuk
menghasilkan foto menarik, berbeda dengan karya fotografer lain yang memotret
acara yang sama. Bayangkan kalau semua koran memasang foto yang mirip. Sangat
membosankan.
Foto Candi Borobudur yang dipotret
dari Punthuk Setumbu bisa dikatakan dipopulerkan harian Kompas setelah dimuat
sebagai headline pada 2 Januari 2004. Sebelumnya, Candi Borobudur umumnya hanya
dipotret dari tempat terdekat. Setelah pemuatan itu, sangat banyak telepon
datang ke redaksi menanyakan tempat pemotretan yang kini makin populer setelah
muncul di film Ada Apa dengan Cinta 2.
Demikian pula suasana bongkar muat
di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2003 pasca penyerangan Amerika
Serikat ke Timur Tengah pada Perang Teluk 2. Pemotretan dengan sudut rendah
dengan latar belakang matahari, menghasilkan foto yang tidak sekadar tampak itu
suasana bongkar muat.
Akan halnya foto pertandingan voli
yang dipotret dari atas Istora, Senayan, Jakarta, sesungguhnya tidak selalu
bisa dilakukan karena tergantung adanya tangga yang tersedia. Tangga hanya
tersedia biasanya setelah terjadi proses perawatan, dan hanya fotografer yang
jeli yang memanfaatkannya. Almarhum Julian Sihombing telah memakai tangga itu
sejak awal 1990-an, terutama untuk memotret pertandingan bulu tangkis.
Tak bisa dilupakan suasana demo
mahasiswa pada peristiwa Mei 1998 karya Eddy Hasby yang memakai teknik
backlight. Demo yang biasanya tampil “menyeramkan”, justru tampil indah. Foto
ini juga menjadi sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar