Camera Canon , situs pemberi info dan tips serta "guidance" seputar Camera Canon , Camera Canon Selalu menyenangkan!
Kamis, 12 Desember 2019
Senin, 11 November 2019
Memahami Pengeditan Foto dalam Jurnalistik
DALAM dunia jurnalistik beredar “peraturan”
yang mengatakan bahwa mengedit seubah foto batasannya adalah teknik kamar
gelap. Maksudnya, mengedit foto di era digital dalam dunia jurnalistik hanya
boleh dilakukan ,kalau zaman dahulu juga bisa dilakukan, di kamar gelap (proses
cuci cetak foto).
Maka, kalau dijabarkan, mengedit
foto digital yagn diizinkan dalam dunia jurnalistik adalah krop (memotong), membuat lebih gelap total, membuat gelap sebagian(burning), membuat lebih terang total,
membaut terang sebagian (dodging),
menaikkan kontras, dan memutar foto. Dalam hal tertentu, memperbaiki warna yagn
salah (akibat salah white balance,
atau salah memilih film) bisa dilakukan.
Banyak fotografer jurnalistik
(terutama yang baru bersentuhan dengan digital) sangat takut bahwa edita
nfotonya berlebihan dan melanggar asas jurnalisme (karena dia tidak bisa
mengedit fotonya sendiri). Padahal, sesungguhnya, dalam dunia jurnalistik tida
ada pihak yang bisa melarang siapapun karena kalau ketahuan melanggar soal
mengedit ini pun hukumannya jug tidak ada aturannya.
Satu hal yang harus dipahami saat
ini adalah sesungguhnya pembohongan lewat foto 99,9 persen justru bukan dari
mengedit, melainkan dari memainkan teksnya. Hal itu misalnya foto dari Malaysia
dikatakan dari Indonesia. Foto buatan tahun 2003 disebut dibuat kemarin dan
sebagainya.
Hal lain yang harus dipahami adalah
kini sangat sulit berbohong dengan fotografi. Makin banyak orang ikut memotret
selain wartawan, juga makin banyak perangkat untuk menguji sebuah foto ata
ukemiripan sebuah foto dengan foto lain (misalnya Google Image dan Tineye).
Dan yang paling penting diketahui
adalah harga diri seorang wartawan/Koran ada pada kebenaran informasi yang
dibawakan. Satu kali ketahuan berbohong, sang wartawan/Koran sulit dipercaya
lagi. Ini menyangkut uang iklan yang akan masuk padanya.
Media besar akan berpikir jutaan
kali untuk berbohong karena itu menyangkut uang iklan yang emmang pemasukan
utamanya. Namun, tidak bisa dimungkiri, kini ada media yang memang mendapatkan
uang dari pembelokan fakta.
Hasil akhir setelah proses dengan fungsi skew. Tidak ada data yang berubha dibandingkan realitas aslinya
Fungsi “skew”
Baiklah, mari kita kembali ke soal
mengedit foto. Berikut ini adalah proses saya mengedit foto lama (masih memakai
film) yang miring akibat ketidaktelitian saat memotret. Kemiringan foto saya
tidak mungkin diedit dengan aturan konvensional. Kalau diputar, bagaian lain
lagi akan miring. Maka, saya memakai fungsi skew
lewat perangkat lunak, yaitu cara yang diera kamar gelap juga bisa
dilakukan tetapi sulit dan membuat beberapa bagian foto jadi tidak tajam.
Mengapa menurut saya cara ini sah? Saya
berani melakukan in idan membuka olahan yang saya lakukan karena hasilnya
sesuai dengan realita bangunan aslinya.
Salah satu pegangan jurnalistik
adalah apakah masih sesuai dengan aslinya. [Sumber : Kompas, Selasa, 17 Januari 2017|Oleh;
Arbain Rambey dalam Tips&Catatan]
Kamis, 10 Oktober 2019
Foto Jurnalistik Makin “Tanpa Beban”
Tips &
Catatan |Arbain Rambey
Sekitar 21 tahun lalu, saat saya
baru bergabung menjadi fotografer harian Kompas, fotografer senior Kartono
Riyadi (alamarhum) mengajari saya untuk bisa mengirim foto dari luar kota atau
luar negeri. Waktu itu, alat yang dipakai biasa disebut sebagai S-16, berukuran
sebesar mesin tik umum dan beratnya sekitar 10 kg, bisa mengirimkan foto lewat
jalur sambungan telepon. Cara kerjanya mirip alat facsimile, tetapi punya
resolusi gambar jauh lebih halus dan bisa berwarna pula.
Waktu itu, kalau harus mengirim foto
ke kantor pusat dari liputan di luar kota atau luar negeri, seorang fotografer
harian Kompas memang harus membawa S-16 itu, ditambah perangkat alat cuci cetak
foto, termasuk sebuah enlarger yang
bentuknya seperti pada foto dihalaman ini. Bisa dibayangkan, beban seorang
jurnalis foto untuk liputan yang penting sangatlah besar. Ditambah kamera-kamera analog, bawaan total seorang jurnalis foto
kadang sampai sekitar 50 kg.
Memasuki tahun 1990-an, ada alat
baru yang disebut leafax. Dengan alat
ini, seorang fotografer tak perlu membawa alat cetak lagi sebab pengiriman foto
bisa dilakukan langsung dari sebuah film negative. Namun, alat mencuci film
tetap harus dibawa untuk menghadapi kemungkinan tak sempat mencucikan di
laboratorium foto mana pun.
Saat ini
Namun, 21 tahun kemudian ,tepatnya
akhir Oktober 2011 lalu, saya bisa mengirimkan foto dari pedalaman Pulau sumba
hanya dengan sebuah alat seberat beberapa gram. Computer tablet Android ukuran
7 inci yang saya bawa, lewat jalur seluler dan surat elektronik, memerlukan
waktu beberapa menit saja untuk mengirimkan foto beberapa anak nelayan seperti
yang ada di halaman ini.
Saat di Pulau Sumba itu pun, kamera
yang saya pakai juga jauh leibh ringan daripada “kakaknya” 21 tahun yang lalu.
Kalau dulu selain kameranya berat, saya juga harus membawa beberapa kamera
untuk kemungkinan-kemungkinan ini: kamera berisi film BW, kamera berisi film
berwarna ISO tinggi, dan kamera berisi film-film beerwarna ISO rendah. Kini,
dengan sebuah kamera digital, memilih ISO tinggi, memilih hitam putih, atau
memilih ISO rendah semata Cuma menekan tombol.
Kamera digital yang tidak tergantung
ukuran film juga memungkinkan ukuran mini sebab cermin pun sudah bisa
dihilangkan. Berat kamera electronic
viewfinder interchangeable lens (EVIL) yang saya pakai dengan tiga lensa,
pun tak sampai 2 kg.
Untuk mengirimkan foto, saya tinggal
melepas kartu memori mini SD-nya, lalu menancapkan kartu memori itu pada computer
tablet tersebut. Dalam beberapa tahun mendatang, tidaklah mustahil sebuah
kamera malah bisa langsung mengirimkan foto.
Kerja menjadi jurnalis foto kini
tidaklah identic dengan beban berlebihan lagi. Dengan peralatan yang makin
ringan dari tahun, seorang jurnalis foto bisa bekerja “tanpa beban” lagi.
Senin, 09 September 2019
Rabu, 28 Agustus 2019
Kamis, 08 Agustus 2019
Minggu, 07 Juli 2019
JUSTIN MOTT UP CLOSE & PERSONAL
#CANON 5D MARK III
Cameracanon.blogspot.com – The
Jakarta Post February 18, 2015 by Hans David Tampubolon|Jakarta – AWARD-WINNING photographer Justin Mott
remembers fondly the day he feel in love with photography and deiced to shift
his passion from writing to taking high quality, intimate photos.
“My family all chipped in and bought
me a digital camera. So for my birthday, they all paid a little bit of money
back then,” he told The Jakarta Post recently when he came to town.
“It must have been 2002 or 2001. I
got my first digital camera and I used my free time on Saturdays and Sundays
walking around San Francisco doing street photography.”
Now, more than a decade later, Mott,
who was born in 1978 in Rhode Island, US, has become one of the world’s most
well-known photographers, both for his photo journalism and commercial work.
Most said great photographers spent
lots of time with their subjects to really capture them. Once, he spent six
years documenting the life of an agent orange victim, a project of which he is
truly proud.
His weapon of choice for photography
mirrors his philosophy – he isn’t a fan of taking photographs using zoom
lenses. Instead, he’d rather be as close as possible to this subject.
CANON 5D MARK III
I use a Canon 5D Mark III and I use
all prime lenses, so it depends on the shoot. I shoot videos with it too. If
I’m going on an editorial assignment, I might just take a fix 14.14.
If I’m on a wedding shoot, I’ll take
more lenses because I have more time. I use prime lenses from the 17 tilt shift
to the 24. My favorite lens is the Canon 35 1.4. I spent an entire year just
shooting with that lens. It’s the prime lens for me, it makes me move.
Zoom lenses can make you be a lazy
photographer so when I go out, this lens makes me move around and really
captures the objects. The quality is amazing.
APPS
I use Lightroom. Lightroom is so
powerful now. A couple of years ago, it wasn’t but [now] I can do everything I
need with my photography with it.
Around 90 percent of editing I do
with Lightroom. I use it for commercial jobs, wehre we have to move things or
add things. A lot of my photography is natural so there is not a lot of post
production. Sometimes I use Photoshop.
DESCRIPTION: award winning
photographer Justin Mott remembers fondly the day he feel in love with
photography and deiced to shift his passion from writing to taking high
quality, intimate photos.
KEYWORDS: premium,camera,gadget,photography,digital,
photographers, journalism,lightroom.
TAGS : canon 5d mark III,digital
camera.
Kamis, 06 Juni 2019
Memahami Fotografi dengan FPS Tinggi
SAAT perusahaan
Olympus mengeluarkan kamera EM1 Mark 2 tipe mirrorless
(tanpa cermin) pada awal November lalu, banyak orang bertanya-tanya untuk apa
kemampuan rekam dengan kecepatan bingkai yang begitu tinggi. Seperti
diberitakan, kamera itu mampu merekam dengan kecepatan bingkai sampai 60
bingkai per detik alias 60 FPS (frames
per seconds).
Saat ini, kamera DSLR (digital
single lens reflex) hanya mampu merekam gambar sampai 14 FPS. Adanya cermin
yang berayun pada DSLR menyulitkan kamera tipe ini untuk bisa merekam dengan
FPS lebih tinggi lagi. Sementara itu, rata-rata kamera mirrorless sudah bisa
merekam foto dengan kecepatan sampai sekitar 2-fps. Tetapi, sampai 60 fps, sungguh
orang lalu bertanya: untuk apa?
Merekam proses
Sesungguhnya, kebutuhan akan merekam
dengan fps sangat tinggi sudah dibutuhkan orang sejak dahulu. Kebutuhan ini
umumnya menyangkut proses penelitian akan sesuatu yang bergerak. Dalam bidang
olahraga, analisis dengan proses stroboskopik, yaitu pemotretran dengan
pencahayaan khusus, sering dilakukan untuk mengamati kesalahan-kesalahan gerak
atlet.
Di halaman ini terpasang sebuah foto
stroboskopik tentang gerakan seorang pemain golf dalam memukul bolanya. Foto
jenis inilah yang disebut foto stroboskopik yang merekam aneka gerakan dalam
atu bingkai melalui pencahayaan yang berkali-kali dalam waktu singkat.
Sesungguhnya, kemampuan rekam
Olympus EM1 Mark 2 itu sangat berguna untuk mengamati gerak seperti yang saya
coba saat memotret kejuaraan berkuda ekuisterian cinta Indonesia Terbuka di
kompleks berkuda Adria Pratama Mulya, Cikupa, Banten, akhir pekan lalu.
Gerakan kuda melompat dari mulai
meninggalkan tanah sampai menjejak tanah lagi terekam dalam 80 bingkai foto.
Dari rangkaian foto-foto itu terlihat bagian kaki kuda mana yang menyentuh
palang lompatnya.
Dulu orang memakai video untuk
merekam gerak, tetapi video yang dibekukan umumnya merupaka nfoto yang tidak
bermutu tinggi. Dalam kasus pemotretan fps tinggi ini, tiap bingkai fotonya
merupakan foto resolusi tinggi alias berukuran 5.184 x 3.888 piksel alias
sekitar 20 megapiksel.
Keunggulan pemotretan dengan fps
tinggi seperti ini adalah tiap gerakannya ada dalam bingkai tersendiri, tidak
menumpuk seperti pada foto stroboskopik. Selain itu, pemotretan fps tinggi juga
tidak memerlukan pencahayaan khusus, bahkan bisa berlangsung di tempat terbuka
dan terang.
[*/CCblogspot.com dari Sumber : Kompas, Selasa, 15 November 2016
]
DESCRIPTION:
Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer
untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi
hasil pemotretannya
KEYWORDS: FPS,frame
per second.
Excerpt : Fotografi
buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya
focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan
yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka
berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS : Olympus
EM1 Mark 2,foto stroboskopik,
# Sebanyak 80 foto
berurutan sejak kuda mulai melompat sampai mendarat lagi di tanah, termasuk
jatuhnya palang halangan, terekam dalam foto-foto yang masing-masing 20 MP.
#Foto terakhir dari rangkaian pemotretan kuda melompat berukuran 20 Mp.
Minggu, 05 Mei 2019
Mudik, Momen Fotografi Berulang
Ada yang mengatakan bahwa foto
suasana mudik selalu begitu-begitu saja. Mengapa selalu dipotret lagi? Harian
”Kompas” selalu memuat foto mudik ataupun suasana arus balik dari tahun ke
tahun dan memang fotonya hampir mirip dari tahun ke tahun itu.
Mudik Lebaran mulai awal tahun
2000-an marak menggunakan sepeda motor. Kiri atas 2003, kanan atas 2016.
Betul. Suasana mudik memang selalu
begitu saja, tetapi sesungguhnya adegan itu adalah penanda zaman. Sebenarnya
selalu ada perubahan signifikan dari waktu ke waktu, termasuk bagaimana cara
memotretnya. Sampai akhir tahun 1990-an, foto mudik di Kompas biasanya orang
berebut masuk bus atau kereta. Walau selalu itu-itu lagi, orang tetap tertawa
melihat adegannya. Mulai awal 2000-an, saat sepeda motor makin mudah
didapatkan, orang mulai mudik menggunakan sepeda motor. Kompas pertama kali
memotret mudik dengan sepeda motor pada 2003 dan sampai tahun lalu, 2016, masih
dilakukan dengan berbagai varian. Suasana mudik lain adalah kemacetan parah di
jalan yang dilalui pemudik, yaitu jalur pantai utara dan jalur tengah lewat
Nagreg, Jawa Barat. Memotret kemacetan tentu membutuhkan sudut pemotretan
tinggi. Sebelum Kompas memakai drone, hal itu harus dicapai dengan naik pohon
atau naik ke bukit. Kemacetan di Nagreg tahun 2009 dipotret dengan naik bukit,
sementara mulai 2015 Kompas sudah memakai drone. Walau memakai drone, foto 2015
dan 2016 ada bedanya. Beda ini sungguh penanda zaman yang menantang kita untuk
berpikir tahun 2017 ini. Pada 2015, jalan tol pantura belum mencapai Jawa
Tengah sehingga fokus pemotretan masih sekitar Cikampek. Tahun 2016, jalan tol
pantura sudah mencapai Brebes, Jawa Tengah, maka pemotretan dilakukan di sana.
Pada tahun ini, jalan tol pantura sudah makin ke timur. Pemotretan pasti tidak
akan dilakukan di Brebes lagi bukan? Dalam dunia jurnalistik, kejadian yang
selalu berulang justru akan selalu diliput karena itu merupakan catatan
perubahan. Selalu ada perbedaan dari waktu ke waktu pada adegan-adegan yang
dilakukan manusia, apa pun itu. [Sumber : Kompas, Selasa, 20 Juni 2017 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]
#Mudik lebaran mulai awal tahun 2000-an untuk menggunakan sepeda motor.,
Kamis, 04 April 2019
Memahami Estetika Foto Jurnalistik
PEKAN lalu,
rubrik KLIK telah membahas soal etika dalam foto jurnalistik. Kali ini yang
akan kita bahas adalah estetika, atau masalah keindahan visual sebuah foto.
Almarhum Kartono Ryadi, redaktur fotografi harian Kompas 1980-1996 dan
2000-2003, mengatakan bahwa foto jurnalistik berhak dan wajib tampil indah.
Kartono Ryadi yang biasa disapa KR
ini menegaskan bahwa foto yang biasa-biasa saja tidaklah menarik orang untuk
menyerap informasinya. “Koran tidak cuma jualan informasi. Kalau penampilan
sebuah koran tidak menarik, orang tidak akan tertarik membaca atau membelinya”
kata KR kalau memberikan pembekalan kepada fotografer baru Kompas.
Lebih jauh, KR pernah mengatakan
ini, “Kalau memotret usahakan menjauhi kamerawan televisi. Jangan sampai fotomu
cuma versi diam dari adegan yang sudah disaksikan orang di televisi.”
Berpikir Beda
Pedoman yang diberikan almarhum KR
sebenarnya masalah estetika. Seorang jurnalis foto harus selalu berpikir untuk
menghasilkan foto menarik, berbeda dengan karya fotografer lain yang memotret
acara yang sama. Bayangkan kalau semua koran memasang foto yang mirip. Sangat
membosankan.
Foto Candi Borobudur yang dipotret
dari Punthuk Setumbu bisa dikatakan dipopulerkan harian Kompas setelah dimuat
sebagai headline pada 2 Januari 2004. Sebelumnya, Candi Borobudur umumnya hanya
dipotret dari tempat terdekat. Setelah pemuatan itu, sangat banyak telepon
datang ke redaksi menanyakan tempat pemotretan yang kini makin populer setelah
muncul di film Ada Apa dengan Cinta 2.
Demikian pula suasana bongkar muat
di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2003 pasca penyerangan Amerika
Serikat ke Timur Tengah pada Perang Teluk 2. Pemotretan dengan sudut rendah
dengan latar belakang matahari, menghasilkan foto yang tidak sekadar tampak itu
suasana bongkar muat.
Akan halnya foto pertandingan voli
yang dipotret dari atas Istora, Senayan, Jakarta, sesungguhnya tidak selalu
bisa dilakukan karena tergantung adanya tangga yang tersedia. Tangga hanya
tersedia biasanya setelah terjadi proses perawatan, dan hanya fotografer yang
jeli yang memanfaatkannya. Almarhum Julian Sihombing telah memakai tangga itu
sejak awal 1990-an, terutama untuk memotret pertandingan bulu tangkis.
Tak bisa dilupakan suasana demo mahasiswa
pada peristiwa Mei 1998 karya Eddy Hasby yang memakai teknik backlight. Demo
yang biasanya tampil “menyeramkan”, justru tampil indah. Foto ini juga menjadi
sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu. [Sumber : Kompas, Selasa, 25
April 2017 | Tips & Catatan |Arbain
Rambey]
#Halaman Pertama harian Kompas edisi 2 januari 2004 dengan foto
borobuder kaya Eddy Hasby
#Bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Maret 2003
#Pertandingan voli proliga di istra senayan, Jakarta , april 1016
#Demo mahasiswa tahun 1998
DESCRIPTION: perkembangan teknologi yang
makin baik membuat makin mudahnya sebuah berita, baik tulis maupun foto,
diakses siapa pun. Foto-foto yang menakjubkan dalam waktu singkat sudah menjadi
santapan mata dan batin siapa pun yang punya akses atasnya. Di sastu sisi,
kemapuan membuat foto bagus mudah “menular” di antara sesame fotografer. Tapi,
di sisi lain, muncul pula foto-foto yang menjadi klise karena idenya menjadi
terlalu umum. Memagn tak ada penjiplakan secara langsung di sini. Yang ada
adalah endapan ide di benak hasil melihat foto lain, lalu ide itu menjadi
pemicu saat membuat sebuah foto dalam situasi yang mirip.
Minggu, 03 Maret 2019
FOTO-foto yang Jadi Klise dalam Lingkup Jurnalistika
SEBAGAI contoh
pertama adalah foto antrean. Memotret sekadar orang yang berderet menuju suatu
titik sungguh membutuhkan pendekatan yang baik agar fotonya tidak tampil
membosankan.
Hal pertama yang dicari seorang
fotografer saat akan memotret antrean adalah mencari sebuah titik perhatian
yang akan menjadi point of interest
(POI) fotonya.
Pada keempat foto antrean yang ada
di halaman ini terlihat bahwa POI keempat foto adalah “anak kecil yang
terjepit”. Apakah keempat fotografer pada keempat foto itu saling meniru?
Tidaklah begitu.
Foto “tertua” pada keempat foto itu
adalah karya Agus Susanto dari Kompas, yaitu foto yang di kiri bawah. Diambil
tahun 2005, foto tersebut menggambarkan antrean minyak tanah. Adapun foto kanan
atas adalah foto yang dibuat tahun 2007 pada kelaparan di Pakistan. Foto kiri
atas dibuat tahun 2010, juga di Pakistan, saat terjadi banjir besar di negara
itu.
Tak ada satu pun dari keempat
fotografer antrean yang sempat melihat karya lainnya. Keempat fotografer
mendapat ide yang sama dari berbagai sumber, mungkin dari internet atau juga
media cetak mana pun.
Sebenarnya, foto antrean dengan
menonjolkan anak kecil terjepit di bawah sadar telah menjadi “template” umum di
kalangan jurnalis foto. Dan karena sekarang sudah menjadi klise, pendekatan
“anak kecil terjepit” sebaiknya memang tidak dipakai lagi.
Pendekatan boneka
Kemudian perhatikan tujuh foto di
kelompok bawah halaman ini. Apa yang menonjol?
Boneka! Benar…boneka selalu ada di
pojok bawah ketujuh foto itu. Enam foto di sebelah kiri adalah foto-foto dari
Timur Tengah. Pada beberapa pengeboman, tentu ada anak keicl yang jadi korban.
Dan biasanya “jejak” akan adanya korban anak keicl adalah dari ditemukannya
boneka di tempat kejadian.
Seorang fotografer biasanya akan
membuat POI pada boneka yang ditemukan itu. Dengan demikian, pas sudah fotonya
menceritakan kekejaman perang yang tak kenal usia.
Namun, kalau foto boneka muncul
begitu banyak, timbulah pertanyaan: apakah boneka itu benar-benar ada di lapangan? Apakah tidak mungkin
fotografernya membawa boneka sendiri?
Pada foto kanan bawah, pada
peristiwa banjir lahar dingin Merapi pun, akhirnya “foto boneka” muncul!
Saat ini dunia teknologi sudah
begitu maju. Satu foto yang bagus kan dilihat miliaran manusia. Foto yang
idenya mirip dengan foto hebat sebelumnya pelan tapi pasti tidak akan dianggap
sebagai foto yang baik. Menghindari foto klise saat ini sudah menjadi kewajiban
jurnalis foto mana pun yang ingin maju.
Klise-klise lain
Selain kedua contoh di atas, foto
klise lain dalam dunia jurnalistik, misalnay foto jam di tengah bencana. Kita
tentu ingat benar saat tsunami Aceh 2004 lalu ada foto jam yang ditemukan di
lumpur. Jam itu sudah mati, dan posisi saat dia mati tepat ketika tsunami
terjadi. Foto jam ini juga muncul saat gempa Yogya tahun 2006.
Perwarta foto Kompas, Lucky
Pransiska, menceritakan bahwa saat dai meliput bencana di Mentawai akhr tahun
lalu, beberapa fotografer sudah siap akan “mengatur” sebuah jam yang ditemukan
di lapangan.
Dalam kancah foto politik, foto-foto
klise antara lain pemukulan gong, pengguntingan pita, atau seorang pemimpin
berpidato dengna posisi tangan menunjuk ke atas.
Memang tida ada yang salah dengan
foto yang klise sejauh fotonya bisam
enyampaikan pesan dengan baik dan benar. Namun, dalam dunia yagn seharusnya
memang makin baik, jurnalis foto di mana pun dituntut untu selalu berpikir,
berpikir, dan berpikir saat membuat foto.
Foto adal hberita juga, maka foto
yang baik adalah santapan mata dan batin yang sangat baik. [Sumber : Kompas,
Selasa, 10 Mei 2011 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]
#Dengan kedua kaki palsu, Agus
Murtado tetap hidup normal dan berbagai perjalanannya.
#Kedua kaki Agus Murtado adalah kaki
palsu
#Melayani Pelanggan
#Dengan ruang kerja sempit dan
segala keterbatasan fisik, Agus Murtado bekerja keras mencari nafkah.
#Hanya dengan tangan kanan yang
berfungsi normal, Agus Murtado memanfaatkan mulut sebagai pengganti tangan
kirinya.
DESCRIPTION: perkembangan teknologi yang
makin baik membuat makin mudahnya sebuah berita, baik tulis maupun foto,
diakses siapa pun. Foto-foto yang menakjubkan dalam waktu singkat sudah menjadi
santapan mata dan batin siapa pun yang punya akses atasnya. Di sastu sisi,
kemapuan membuat foto bagus mudah “menular” di antara sesame fotografer. Tapi,
di sisi lain, muncul pula foto-foto yang menjadi klise karena idenya menjadi
terlalu umum. Memagn tak ada penjiplakan secara langsung di sini. Yang ada
adalah endapan ide di benak hasil melihat foto lain, lalu ide itu menjadi
pemicu saat membuat sebuah foto dalam situasi yang mirip.
KEYWORDS: antrean,point of
interest,poi,jadi klise,lingkup jurnalistik,foto-foto.
TAGS : Agus Murtado.
Sabtu, 02 Februari 2019
Merasakan Foto yang Memakai Tele
Pekan lalu, banyak sekali pertanyaan datang kepada saya tentang foto seorang warga negara Indonesia di Arab Saudi yang sedang ditanya-tanya oleh kepolisian setempat. Pertanyaan-pertanyaan itu muaranya hanya dua, yaitu ”apakah foto itu dibuat dari jauh dengan lensa tele” dan ”tele berapa milimeter yang dipakai”.
Inti tulisan ini bukanlah membahas foto tersebut, melainkan ingin memberikan gambaran bahwa foto yang memakai lensa tele itu cukup mudah dirasakan. Namun, untuk menduga berapa milimeter lensa tele yang dipakai itu hampir tidak mungkin karena kita harus tahu dulu kamera apa yang dipakai, kondisi asli tempat pemotretan, dan juga apakah fotonya dipotong lagi atau dibiarkan utuh.
Sebuah foto yang dibuat memakai lensa tele (alias lensa yang panjang focal-nya lebih dari 50 milimeter) tampak dari efek
compaction atau latar belakang foto yang ”mendekat”. Foto kemacetan lalu lintas yang dibuat fotografer Kompas, Lasti Kurnia, sekitar sepuluh tahun yang lalu menunjukkan bahwa mobil-mobil di area A ukurannya tampak hampir sama dengan mobil-mobil yang ada di area B. Padahal, jarak area A dan area B lebih dari 200 meter.
Lasti memakai lensa tele dan memotret dari jauh. Mobil di area A dan mobil di area B punya jarak relatif yang hampir sama terhadap Lasti. Kalau saja Lasti berada di dekat area A, tentu foto-foto di area A akan tampak besar sementara mobil-mobil di area B akan tampak kecil.
Demikian pula foto di Arab Saudi itu. Mobil di latar belakang itu tampak besar, jelas menunjukkan efek compaction ini. Kita tidak bisa tahu berapa milimeter lensa tele yang dipakai karena kita tidak tahu ukuran sebenarnya mobil yang menjadi latar belakang itu, juga jarak pemotretannya.
Akan halnya berbeda kalau kita melihat foto tiga penari. Foto itu saya buat dengan lensa 200 milimeter dari jarak sekitar 15 meter. Ukuran badan penari di latar belakang tampak lebih kecil dan kita tahu benar bahwa ukuran badan dia relatif sama dengan ukuran badan penari lain. Kalau saja kita ada di lokasi pemotretan lalu membandingkan ukuran tubuh latar belakang dengan latar depan, kita mudah menebak ukuran tele yang dipakai.
Sebagai penutup, coba perhatikan foto portrait Ringgo Agus Rahman yang saya buat sekitar sepuluh tahun yang lalu dengan lensa lebar (lawannya lensa tele). Kakinya tampak kecil dan jauh bukan? Itu adalah efek kebalikan lensa tele. Jadi, lensa tele itu mendekatkan yang jauh, sementara lensa lebar menjauhkan yang dekat.[Sumber: Kompas, Selasa, 13 November 2018|Oleh: Arbain Rambey]
Rabu, 23 Januari 2019
Memilih Lensa Bekas
ORANG bilang
fotografi adalah hobi yang mahal. Maksudnya modal untuk membeli kamera dan
lensanya cukup besar. Namun, ternyata banyak fotografer, utamanya yang memotret
untuk hobi bukan profesi, membeli lensa seken sebagai pasangan kameranya.
Bila harus membeli lensa bekas,
periksa terlebih dahulu keadaan seluruhnya. Kemudian goyangkan lensa perlahan,
tetapi cukup untuk mengetahui atau mendengar bila ada elemen gelas di dalam
lensa yang tak terpasang dengan baik atau terlepas.
Kemudian, periksa bagia ndepan dan
belakang lensa. Jangan membeli lensa dengan bagian depan atau belakang yang
sudah tergores, retak, atau pecah kecil.
Lalu, arahkan bagian dalam lensa ke
sumber cahaya, untuk mempelajari kondisinya. Bila terdapat sedikit debu masih
0ke-oke saja, atau bila terlihagt adasedikit jamur masih bisa dibersihkan atau
diservis. Namun, jangan membeli lensa yang bagian dalamnya sudah berjamur tebal
atau terpapar partikel asing.
Cobakan lensa itu pada kamera anda
dan pastikan semau fungsi kamera dan lensanya berjalan normal. Periksa juga aperture dalam lensa menutup sesuai
pengesetan saat memotret. Adna bisa membuka bagian belakang kamera, setel ke
dalam mode Bulb, dan tekan tombol shutter. Lakukan tes ini pada seluruh rentang
aperture lensa.
Kemudia periksa fungsi autofocus pada lensa dan harus bekerja
dengan normal dan akurat. Periksa pula manual
focus ring pada lensa. Pastikan komponen ini berfungsi dengan baik, tanpa
suara atau sendatan pada mode manual
focus.
Bila memilih lensa tipe zoom,
yakinkan juga mekanisme zoom berjalan dengan halus dan lancer. Jangan membeli
lensa dengan mekanisme zoom yang tersendat, terlalu keras, atu terlalu kendor.
Terakhir, teliti filter thread pada
bagianru depan lensa. Bagian ini seharusnya tidak terdapat kerusakan atau
kemacetan. Lakukan saja pengujian dengan memasang sebuah filter pada lensa
tersebut.
Senin, 21 Januari 2019
Fotografi Digital adalah Jepang!
SIAPA berani
membantah bahwa saat ini kalau membicarakan fotografi adalah membicarakan
buatan Jepang? Kameran non-Jepang yang masih banyak terdapat di pasaran tinggal
Leica (yang harganya sangat tinggi untuk kelasa yang sama dengan sebuah kamera
Jepang) dan Kodak.
Namun Leica pun seperti tipe M9,
memakai bagian dalam Kodak, yaitu sensor Kodak KAF-18500 CCD, sementara perusahaan
Kodak belum lama berselang telah menyatakan diri bangkrut. Akan halnya PhaseOne
(Denmark), itu adalah kamera untuk kelas sangat khusus dan jelas bukan kamera
yang akan terlihat di jalan-jalan atau di rumah-rumah penduduk.
Fotografi saat ini adalah digital
dan teknologi ini dipegang habis-habisan
oleh Jepang. Sadarkan Anda bahwa Cina pun tak bisa membuat barang-barang
“KW” untuk jenis kamera DSLR? Bahkan, Jerman yang dulu begitu tangguh dalam
perfotografian kini sulit mengejar Jepang karena, bagaimanapun, membuat kamera
digital tidak cukup hanya memiliki teknologi lensa yang canggih seperti yang
selama ini menjadi kekuatan Jerman.
Canon versus Nikon
Membicarakan kamera Jepang, tentu dua
yang menonjol adalah Canon dan Nikon. Sampai saat ini pun saya selalu mendapat
pertanyaan: bagus mana Nikon atau Canon?
Jawaban saya selalu sama: kalau
memang ada yang lebih bagus, masak, sih, sampai sekarang belum ketahun juga? Namun,
kalau membicarakan jumlah penjualan, canon melalui salah satu petingginya. Masaya
Maeda, pada awal bulan ini mengatakan bahwa mereka menguasai 45 persen padar
DSLR dunia. Beelum sampai setengah. Akan tetapi, mengingat masih beigtu banyak
merek lain (Nikon, Olympus, sony, Casio, Pentax, Samsung, BenQ dan lainnya),
boleh dikatakan Canon saat ini menguasai pasar dunia.
Karena data dari Canon itu tak ada
yang membantah, juga dengan realitas yang ada, yaitu hamper di semua acara
besar-mulai dari olimpiade hingga perang di Timur Tengah-lensa putih (khas
Canon) tampak di mana-mana, Canon memang paling banyak digunakan saat ini. Namun,
mengatikan jumlah penjualan dengan mutu memang tak selalu benar, seperti juga
Toyota kijang yagn penjualannya sangat tinggi, tetapi tak begitu saja bisa
disebut yang terbaik. Buktinya, anggot DPR tentu tak mau mobil dinasnya Kijang
bukan?
Dari ajang pameran fotografi CP+ di
Yokohama, Jepang, awal bulan ini, memang terlihat bahwa Canon sangat “Kuat”
Stand pamerannya terbesar, disusul Canon yang membuka stand persis di
sebelahnya. Di akhon meraih medali mas, disusul Nikon yang meraih medali perak.
Siapa yang meraih perunggu? Olimpus!
Baiklah semua yakin bahwa dua besar
dunia memang masih Canon dan Nikon. Membicarakan siapa nomor tiga sungguh
sulit. Sampai beberapa tahun lalu, penjualan kamera saku tertinggi masih
dipegang Sony. Pada pameran CP+ lalu, Olympus menyita perhatian karena
menghadirkan kamera OMD atau OM Digital.
Pada tahun 2009, Olympus menelurkan
kamera jenis baru yang disebut mirrorless. Pelan, tapi pasti, kamera jenis ini
menarik minat para fotografer dan produser. Penjualan kamera mirorrless di
seluruh duni sangat tinggi, termasuk di Jepang. Satu persatu perusahaan kamera
Jepang memproduksi jenis ini dan hanya Canon yang belum melakukannya.
Dalam pameran CP+ lalu harus diakui
bahwa primadona pameran memang EOS 1SX (Canon), Dr serta D800 (Nikon), dan OMD
(Olympus). Kamera OMD memagn menarik perhatian karena bentuknya sangat “retro”,
mengangkat kembali pamor kamera jenis OM yang Berjaya di era film. Kalau Anda
penggemar film-film James Bond, salah satu kamera yang peranh dipakai agen
rahasia Inggris itu adalah Olympus OM.
Sampai lima tahun mendatang, saya
berani memastikan bahwa Jepang (terutama Canon) masih merajai perkameraan
digital. Bagi Anda, mungkin pertanyaanya nanti sudah bukan Cuma: Canon atau
Nikon? Mungkin banyak lagi pilihan.[Sumber: Kompas, Selasa, 28 Feberuari 2012\Oleh Arbain Rambey]
Selasa, 01 Januari 2019
Photokina 2018 dan Evolusi Fotografi/Videografi
Realitas saat ini, kebutuhan kadang
ditentukan dengan kemunculan barang baru. Perusahaan elektronik dari Jepang,
Panasonic, pada Photokina 2018 (pameran fotografi dua tahunan dunia) di
Cologne, Jerman, akhir bulan lalu, mengumumkan sedang menyiapkan kamera untuk
rekaman video 8K pada Olimpade Tokyo 2020 mendatang.
PERTANYAAN yang lalu mengemuka adalah apakah kita perlu
8K? Untuk menjawab itu, kita bisa melihat ke belakang. Dulu saat VCD dibuat
pada awal tahun 1990-an menggantikan video VHS, orang mera puas menyaksikan
video dari VCD. Kemudian kemunculan DVD pada akhir tahun 1990-an membuat orang
lalu melupakan VCD. Demikian pla sat Bllue Ray muncul, orang lalu melupakan
DVD. Kebutuhan orang meningkat sejalan dengna kemajuan teknologi, bukan
sebaliknya.
Sistem “mirorless”
Panasonic bisa
dikatakan membuat evolusi fotografi pada 2008 bersama Olympus menciptakan system
kamera mirrorless. Saat ini, bisa
dikatakan semua perusahaan fotografi sudah mulai meninggalkan system DSLR dan
memakai system baru yagn dimotori Panasonic dan Olympus ini.
Pada 2008 it
uPanasonic memilih sensor Micor Foruth Third (MFT) untuk system mirrorless-nya dan ini bertahan sampai
sekarang. Selam ini sensor MFT secara umum bisa memenuhi kebutuhan umum
fotografi.
Sementra itu, perusahana-perusahaan
lain memilih sensor APSC, seperti Sony yang memulai system mirrorless sejak 2009, juga Fuji dan Cannon. Mirrorless yang
memakai sensor Fullframe (36cm x 24cm) pertama adalah Sony lewat seri A7 pada
2013.
Namun di Photokina
2018 ini pula, Panasonic secara mengejutkan mengumumkan akan memperoduksi
ssestem mirrorless dengan sensor fullframe. Ada yang menyebut bahwa
Panasonic “mengikuti” Sonny, juga Canon dan Nikon, yang memulainya sejak
beberapa bulan lalu.
Pertanyaan yang lalu
mengemuka adalah, apakah Panasonic menyerah denga nkemajuan MFT yagn dirasa
kurang cepat?
Menurut Toshiyuki
Tsumura, Kepala Perencanaan Produk Panasonic, Panasonic sedagn berusaha
melompat secara teknologi. “Sistem MFT kam ibagus sekali, bukan? Nah, kami
sekarang merencanakan kamera baru dengan sensor yang ukurannya dua kali MFT,
jadi pasti hasilnya leibh bagus lagi,” katanya kepada Kompas dan dua praktisi
videografi dari Indonesia, Goen Rock dan Beny Kadar, dalam wawancara khusus di
Cologne.
Sesungguhnya, kamera
mirrorless dengan sensor fullframe buatan Panasonic yang akan beredara tahun
ini tersebut bukanlah terbaru “baru” bagi konsorsium penciptanya (Panasonic,
Leica, dan
Sigma) dan bukan
sangat baru karena system ini ternyata sudah ada, yaitu Mounting L dari Leica.
Sistem fullframe sesungguhnya adapatasi dari system film yang merekam dalam
rekaman 36 cm x 24 cm. Dan system ini pertama kali dipakai Leica pada 1927 lewat Leica 1. Sistem fullframe
adala hsistem dasr yang diawali oleh Leica dan kin populer lagi dalam era
digital.
Kamera baru rancangan
tiga perusahaan ini cukup siap karena sudah mempunya 11 lensa yang bisa
dipakai, yaitu 8 dari Leica dan 3 dari Panasonic sendiri. Sementra perusahaan
Sigma akan menghasilkan lensa-lensa lapis keduanya.
Sampai kapan
perekembangan kamera akan berlangsung?
Jawabannya adalah,
tidak akan pernah berhenti. Selama inovasi bisa dilakukan, kebutuhan manusia
akan menyesuaikannya. [Sumber : Kompas, Selasa. 2 Oktober 2018|Oleh
: Arbain Rambey]
Langganan:
Postingan (Atom)