Selasa, 12 Desember 2017

Adu Tangkas dari Balik Lensa

HIBURAN | LAYAR
CAMERACANON.blogspot.comNAMUN tantangan ini tidak menyurutkan antusiasme para fotografer amatir peserta ajang kompetisi fotografi, Photo Face-Off. Acara rellity show tersebut telah memasuki musim ketiga dan mulai menyapa pemirsa di saluran televisi History  mulai 8 September.
Konsep Photo Face-Off ini mengadopsi kompetisi Canon PhtoMarathon yang dimulai 14 tahun lalu di Singapura. Para peserta dari berbaga inegara ditantang utnuk menghasilkan karya fotofrafi terbai ksesuai tema yang ditugaskan selam sehari penuh. Canon PhotoMarathon telah berkembang menjadi lomba foto yagn besar di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Mirip konsep tersebut, Photo Face-Off memberikan tiga jenis tantangan kepada para peserta, yakni kecepatan, tema, dan tantangan face-off. Tantangan kecepatan mengharuskan peserta memotret dalam waktu yang terbatas. Tantangan tema menghadirkan klien yang menginginkan pemotretan tertentu. Selanjutnya, tantangan face-off mengharuskan peserta bertanding satu lawasn satu melawan juri tetap, Justin Mott, seorang fotografer professional, untuk memotret obyek yang sama.
Mott adalah fotografer kelahiran AS dan belajar jurnalistik di San Francisco State University. Tahun 2007, dia pindah ke Vietnam dan bekerja sebagai jurnalis foto. Di menjadi contributor New York Times di Asia Tenggara. Karyanya juga banyak tampil di TIME, The Wall Street Journal, Newsweek, The Guardian, BBC, CNN, dan Forbes.
Semacam olimpiade
Photo Face-Off musim 3 diikuti peserta dari empat negara, yakni Singapura, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Jika pada musim sebelumnya setia pengara diwakili satu peserta, pada musim 3 ini ada tiga peserta dari setiap negara.
Setipa peserta harus bersaing satu sama lain untuk menjadi pemenang dan mewakili negaranya pada grand final di DaNang, Vietnam. Satu peserta tambahan dari Vienam mendapatkan wild card untuk menjadi pemenang Photo Face-Off musim 3.
“Ini semacam olimpiade fotografi di Asia Tenggara.saya terus menekan mereka untuk bisa bekerja secara professional. Mereka sangat bagus dan kompetitif. Saya juga tidak ingin kalah dari mereka,” ujar Mott.
Kontestan asal Indonesia adalah Agus Supriyanto (37), manajer; Christinato Harsadim (25), mahasiswa; dan I Gusti Ngurah Bagus Wirajaya (30), mahasiswa. Mereka beradu ketangkasan memotret di Yogyakarta.
Pada tantanga kecepatan, mereka diuji dengna memotret model yang berpose dengan mobil neon yang bercahaya. Satu peserta akan tereliminasi pada babak ini.
Untuk tantangan tema, mereka diharuskan mengambil gambar kaya seni warna-warni di Kampugn Code untuk dipajang dalam galeri seni di Yogyakarta. Satu lagi peserta akan tereliminasi pada babak ini. Kemudian tantangan face-off, peserta meotret gambar simetris dengan Candi Prambanan harus ada di dalamnya.
Di negara lain, para peserta juga ditantang memotret berbagai macam hal. Di Bangkok, Thailand, misalnya mereka harus memotret bunga secara kreatif untuk tantangan kecepatan, membuat dan menata album utnuk sebuah band untuk tantangan tema, dan mengambil foto hitam puith tim polo air putri nasional ketika sedang bertanding.
Untuk menilai karya para peserta, Mott ditemani klien dan fotografer professional dari masing-masing negara sebagai juri.
Mendadak motret
Ketiga kategori tantang itu dirancang untuk mendorong keterampilan, pengetahuna, dan kreativitas dan membuat foto yang unik. Kami diberi tema secara mendadak, kamera juga diberikan mendadak. Lokasi juga diberitahukan mendadak. Saya harus memanfaatkan waktu persiapan yang sangat singkat untuk menentukan foto. Ini benar-benar membuat saya keluar dari zona nyaman,” ujar Agus, saat jumpa pers di Jakarta, akhir Agustus lalu.
Gusti mengatakan hal senada. Hal pertama yagnharus dimiliki setiap peserta adalah kecintaan pada dunia fotografi. “Kalau kita enggak suka motret, tentu tidak akan dapat foto bagus. Kita juga harus berani berpikir out of the box,” kata Gusti, yang gemar fotografi sejak kecil.
Christianto memiliki tantangan tersendiri karena dia memiliki gangguan pendengaran dan harus berkomunikasi dengan bahasa isyarat. “Di lokasi, saya mencoba berkomuniksi dengan model memakai bahasa isayarat. Dia tidak mengerti sama sekali,” tuutrnya melalui penerjemah.
Kekurangan itu tidak menyurutkan Christianto untuk berkompetisi. Dia ingin memperliahtkan kepada para tunarungu bahwa mereka pun bisa memotret dan membuat foto bagus.
Kepala Penjualan dan Periklanan A+E Networks Charles Less mengatakan, Photo Face-Off tidak sekadar sebuah kompetisi memotret. “Ini adalah cara menuturkan cerita dengan cara yang mengagumkan. Lama-kelamaan bisa tercipta sebua hkultur fotografi,” ujarnya.
Sisi lain dari kompetisi ini adalah, tuurt tersorotnya keelokan panorama dan kehidupan sosial budaya di setiap negara sehingga bisa diperkenalkan kepada maysarakat yang lebih luas. Pemirsa bisa ikut menikmati buurng dalam sangkar terbesar di Kuala Lumpur; beragam jajanan di Street Smith, pujasera ikonik Singaprua; atau keindahan Jembatan Naga, ikon kota Da Nang.
Terelbih, dari tahun ke tahun industry fotografi semaki nberkembang. Banyak pula bermunculan fotofrafer handal. Dari balik lensa, dengan beragam angle, mereka mengabadikan keindahan dan keunikan semesta.[Sumber : Kompas, Minggu, 18 September 2016 | Oleh : Ransisca Romana Ninik]

Keywods : Photo,foto,Photo Face-Off,Canon PhotoMarathon,.
Tags: adu tangkas, dibalik lesa,fotografer.
Description: Memotret dan menghasilkan foto yang bagus bagi orang kebanyakan sudah merupakan tantangan.

Excerpt ; Memotret dan menghasilkan foto yang bagus bagi orang kebanyakan sudah merupakan tantangan. Apalagi, ditambah batasan waktu, tema, dan “lawan” fotografer professional kelas dunia, mengintip dari balik lensa bisa memacu adrenalin!

Sabtu, 11 November 2017

DUlu ditinggalkan, kini jadi incaran

LANGGAM GAYA HIDUP
CAMERACANON.blogspot.comSULIT menampik bahwa saat ini kamera analog sedang naik daun, mengiringi perkembangan media sosial sebagai wadah untuk pamer alat atau kamera serta hasil jepretan. Media sosial juga menghubungkan pengguna kamera analog dari lain kota, lain pulau, hingga lain Negara. Bentuk kamera analog yang unik dan terlihat lawas menjadi daya tarik.
Mengiringi hal tersebut, toko-toko kamera seprti di Harco Pasar Baru, Jakarta Pusat pun diramaikan oleh penggiat fotografi analog. Di sanalah antara lain mereka bisa mencari kamera analog antic dari bermacam merek dan tahun pembuatan.
Di tengah kemajuan teknologi, kamera dan aksesori kamrea analog memang bisa juga didapat melalui situs penjualan daring maupun di media sosial. Namun, kahdiran toko fisik menjadi wahana untuk ngobrol bertukar ilmu dan pengalaman seputar fotografi.
“Fotografi analogmemang dirasakan semakin ramai beberap tahun terakhir. Pehobinya bukan Cuma orang tua. Ada juga anak-anak muda atau mahasiswa yagn ingin mencoba memotet degna nkaerma analog. Mungkin mereka bosan memotret dengan kamera digital. Internet memang memudhakan jual-beli, tapi sebuah toko fisik bagi saya ibarat base tempat orang berkumpul,” kata Eka Raspratama, pemilik toko MainKamera di kawasan tersebut.
Mereka yagn menggeluti fotografi analog, seperti dikatakan Eka, biasanya punya cerita yang unik tentang kemara yang dimiliki. Bisa karean kamera itu adala hwarisan dari kakek ata uorangtua atau bisa juga karena kamera itu didapat setelah berburu selam bertahun-tahun.
“Seperti ini, Leica IIIcK. Saya beli Rp 300 ribu di pasar loak. Setelah saya cek serial number, ternyata itu seri militer Jerman tahun 1945. Terus cek di eBay, harganya berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 200 juta, tergantung kondisi,” kata Eka.
Proses dan pindai
Dibandingkan dengna kamera digital, memotret menggunakan kamera analog memang lebih rumit. Dari proses pemotretan saja, seorang juru foto harus cermat mempertimbangkan sudut pengambilan, komposisi, serta pengaturan rana dan shutter speed kalau tidak mau ada frame yang terbuang. Setelah itu, harus ada proses cuci-cetak atau scan untu kbisa meliaht hasil jepretan.
Penyedia jasa cuci-scan film saat ini cukup langka, tetapi bukan berarti tidak ada. Di Jakarta, ada beberapa temapt yagn menawarkan jas tersebut dengan kualitas dan biaya yang bervariasi. Tak luput di Bandung, ada Hipercatlab yagn berdiri lantaran orang kesulitan mendapatkan jasa cuci-scan film hitam-putih yang mudah dan murah.
“Saat ini, kami menangani jasa proses dan scan. Cetaknya belum. Cetak manual (di kamar gelap) masih memungkinkan untuk dilakukan, tapi secara ekonomis biayanya mahal. Biasanya yang cetak manual adalah pemain pro dan mereka biasanya cetra ksendiri karena sebua hfoto untuk dicetak manual, banyak detail yang harus diperhatikan.” Kata Muhamad Fajar Hidayat, pemilik sekaligus yang menajalankan Hipercatlab.

Dengan banderol harag sekitar Rp 30 ribu untuk film hitam-putih dan Rp 40 ribu utnuk film warna, Hipercatlab pun menggunakan internet dan media sosial untuk “berjualan”. Seperti dikatakan Fajar, 95 persen pelanggannya mengenal Hipercatlab dari media sosial dan internet, selebihnya dari mulut ke mulut.

Rabu, 25 Oktober 2017

MEMAHAMI DEFINISI FOTO BAGUS

Klinik Fotografi


SETIAP penjurian sebuah lombo foto usai, pertanyaan yang selalu muncul adalah apa alasan foti ini memang?
Kalau dianalogikan ke hal lain, begini kira-kira persamaanya; Anda diminta menilai lima piring nasi goreng untuk emnentukan mana yang palign enak. Setelah Anda bisa memilih mana yang paling enak, Anda tentu tidak bisa mengatakan alasan pemilihannya bukan? Enak adalah kata kuncinya, tak ada pertimbangan lain yang bisa dijadikan alasan.
Akan  tetapi, khalayak umum  tentu tidak bisa menerima alasan yang mengatakan foto ini menang karena paling bagus. Pertanyaan selanjutnay yang muncul adalah bagus itu apa definisinya? Secara umum, manusia sengan pada definsi walaupun kadang ida sendiri sering menilai tanpa tahu definisinya.
Sebagai contoh adalah definsi canti kdan definsi nyaman. Orang mudahmengatakan “wah, orang itu cantik” dan “wah, ruangan ini nyaman sekali”, padahal definsi apa itu cantik dan apa itu nyaman rasanya belum pernah ada yang baku.

Bagus, indah, menarik, dan berbicara
Sesungguhnya, untuk memberi definsi apakah sebuah foto itu bagus atau tidak, ada banyak pemikiran. Kili kali ni akan membahasa empat definsi “foto bagus”. Definisi pertama adalah kata “bagus” itu sendiri.

Foto bagus adala hfoto yang sesuai denga ntujuan untuk apa foto itu dibuat. Foto menu yang baik adalah foto makanan yang membuat orang yang melihatnya ingin memakan makanan itu. Foto interior yang bagus adala hfoto ruangan yang membuat orang ingin berada di ruangan itu. Foto perjalanan yang bagus aalah foto yang membuat orang ingin datang ke tempat yang difoto itu.

Foto Candi Borobudur yang menyertai tulisan ini adala hfoto yang indah, artinya foto yang menyenangkan untuk dilihat. Apakah foto Candi Borobudur ini bagus? Tergantung pemikirannya.
Foto Candi Borobudur itu tidak bagus kalau kotesknya adalah untuk lomba foto karena foto dengna sudut pemotretan seperti itu sudah sangat klise. Di Punthuk Setumbu, tempat pemotretannya, tiap pagi puluhan orang memotret dengan hasi lyang kira-kira sama. Ini sudah berlangsung lebih dari 20 tahun di tmepat itu. Foto Candi Borobudur yang dipotret dari Punthuk Setumbu saat matahari terbit adalah foto yang tidak bagus kalau konteksnya untuk lomba meskipun hasil fotonya indah.

Foto yang bagus saat pelantikan Presiden Joko Widodo pada 20 Okotober 2014 adalah foto yang bisa menggambarkan kemeriahan acaranya. Namun, foto itu akan menajdi tidak menarik kalau banyak orang memotret dengan hasil yang hampir sama.

Perhatikan aneka foto berita utama surat kabar di Indonesia pada 21 Oktober 2014. Foto-foto itu semua bagus, tetapi foto di harian Kompas adalah yang menarik. Foto menarik adalah foto yang
lebih menonjol dibandingkan foto lain yang sejenis.

Adapun foto yang berbicara adala hfoto yang mudah dimengerti. Akan tetapi, harus digaris bawahi bahwa mudah dimengerti ini buknalah dalam kadar yagn biasa-biasa saja. Foto yagn berbicara adalah foto yagn mudah dimengerti walau informasinya lebih dari biasa. Sebaga icontoh adalah foto dari Pemilu 2009 yang menampilkan seorang pemilih tidak bertangan sedang memasukkan surat suaranay di Surabaya. Sekilas orang sudah tahu itu foto tentang apa dan apa keistimewaan adegan itu.
[Sumber : Kompas, Selasa, 26 Juli 2016 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]


#Foto menarik adalah foto yang “menonjol” dibandingkan foto lainnya. In iadalah aneka foto berita utama surat kabar Indonesia tentang pelantikan Presiden Jokowi pada 21 oktober 2014.
#Foto berbicara adalah foto yagn mudah dimengerti, terutam tentang informasinya yang lebih dari biasa. Ini adalah foto dari Pemilu 2009.



#Foto Indah adalah foto yang menyenangkan untuk dilihat. Ini adalah foto Candi Borobudur diliaht dari tempat yang bernama Punthuk Setumbu.



DESCRIPTION: DALAM dunia foto jurnalistik dikenal adanya esai foto, termasuk untuk memprofilkan seseorang.
KEYWORDS: jurnalistik,dunia foto,esai foto,foto bagus,foto indah,foto menarik,foto berbicara.

TAGS :  definisi foto bagus,memahami.

Perjalanan Menuju Pulau Nusa Kode


Selasa, 10 Oktober 2017

Memahami Estetika Foto Jurnalistik

Pekan lalu, rubrik KLIK telah membahas soal etika dalam foto jurnalistik. Kali ini yang akan kita bahas adalah estetika, atau masalah keindahan visual sebuah foto. Almarhum Kartono Ryadi, redaktur fotografi harian Kompas 1980-1996 dan 2000-2003, mengatakan bahwa foto jurnalistik berhak dan wajib tampil indah.
Kartono Ryadi yang biasa disapa KR ini menegaskan bahwa foto yang biasa-biasa saja tidaklah menarik orang untuk menyerap informasinya. “Koran tidak cuma jualan informasi. Kalau penampilan sebuah koran tidak menarik, orang tidak akan tertarik membaca atau membelinya” kata KR kalau memberikan pembekalan kepada fotografer baru Kompas.
Lebih jauh, KR pernah mengatakan ini, “Kalau memotret usahakan menjauhi kamerawan televisi. Jangan sampai fotomu cuma versi diam dari adegan yang sudah disaksikan orang di televisi.”
Berpikir Beda
Pedoman yang diberikan almarhum KR sebenarnya masalah estetika. Seorang jurnalis foto harus selalu berpikir untuk menghasilkan foto menarik, berbeda dengan karya fotografer lain yang memotret acara yang sama. Bayangkan kalau semua koran memasang foto yang mirip. Sangat membosankan.
Foto Candi Borobudur yang dipotret dari Punthuk Setumbu bisa dikatakan dipopulerkan harian Kompas setelah dimuat sebagai headline pada 2 Januari 2004. Sebelumnya, Candi Borobudur umumnya hanya dipotret dari tempat terdekat. Setelah pemuatan itu, sangat banyak telepon datang ke redaksi menanyakan tempat pemotretan yang kini makin populer setelah muncul di film Ada Apa dengan Cinta 2.
Demikian pula suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2003 pasca penyerangan Amerika Serikat ke Timur Tengah pada Perang Teluk 2. Pemotretan dengan sudut rendah dengan latar belakang matahari, menghasilkan foto yang tidak sekadar tampak itu suasana bongkar muat.
Akan halnya foto pertandingan voli yang dipotret dari atas Istora, Senayan, Jakarta, sesungguhnya tidak selalu bisa dilakukan karena tergantung adanya tangga yang tersedia. Tangga hanya tersedia biasanya setelah terjadi proses perawatan, dan hanya fotografer yang jeli yang memanfaatkannya. Almarhum Julian Sihombing telah memakai tangga itu sejak awal 1990-an, terutama untuk memotret pertandingan bulu tangkis.

Tak bisa dilupakan suasana demo mahasiswa pada peristiwa Mei 1998 karya Eddy Hasby yang memakai teknik backlight. Demo yang biasanya tampil “menyeramkan”, justru tampil indah. Foto ini juga menjadi sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu.

Sabtu, 09 September 2017

Memotret dan Memandang Foto: Tiga Lapisan Visual

# Tampak subyektif Subyek-yangmemandang Subyekyang-memotret
Dalam buku Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan tentang Ada (2005), berdasarkan pengakuan para juru foto dalam Photography Speaks (Brooks, 1989) maupun analisis para pengamat fotografi (Barthes, Berger, Messaris, Soerjoatmodjo, Sontag, Strassler), saya telah mempertegas padan-paralel keber-Ada-an (1) juru foto dengan obyek fotonya di satu pihak; (2) pengamat foto dengan foto yang menjadi obyek pengamatannya di pihak lain; dan dalam peleburan abstraksinya masih mendapatkan kebergandaan Ada. Dalam Kisah Mata Edisi 2 (2016), saya menepis perlunya peleburan abstraksi atas paralelitas padan Juru Foto–Obyek Foto dan padan Pemandang Foto–Karya Foto untuk menemukan Ada. Namun, saya menambahkannya dengan perbincangan tentang lapisan-lapisan visual yang berkemungkinan ditembus seorang juru foto, dalam proses menuju momentum klik! Baru saya sadari kemudian, saya belum memperbincangkan padanannya: Apa yang berlangsung pada pemandang foto ketika memandang foto? Di sini catatan itu saya teruskan, sekaligus mengujikannya kepada diri sendiri, dengan menjadikan foto-foto Senjakala Kalijodo karya RA Vadin sebagai obyek pengamatan. Betapapun, saya hanya mungkin sampai kepada perbincangan itu jika mengulanginya dengan lebih tertata, seperti berikut.
Tampak Dunia bagi Juru Foto
Terdapat tiga lapisan konseptual di depan mata manusia yang menentukan makna ketertampakan di hadapannya. Lapisan pertama adalah Tampak Optis bagi mata tak buta Pada Tampak Optis, hanya terdapat makna obyektif—jika masih bisa disebut makna—bahwa apa pun yang terjangkau oleh daya tangkap mata akan terlihat. Disebut obyektif, karena ketertampakan hadir oleh fungsi mata sebagai instrumen, yakni alat untuk melihat. Dalam hal ini, manusia non-subyek, karena pikirannya tidak bekerja sebagai subyek, tetap dapat melihat karena matanya memang berfungsi, tetapi yang dilihatnya tak dapat hadir sebagai makna. Ibarat kata mobil datang ke arahnya, tak akan disadari sebagai bahaya, meski dapat dilihatnya—karena ketertampakan hadir sebatas Tampak Optis. Lapisan kedua adalah Tampak Kultural Pada Tampak Kultural, pencerapan menghadirkan ketertampakan ke dalam dua kategori, yakni (a) Tampak Visual Dikenal, jika ketertampakannya bermakna, seperti daun yang dikenalinya sebagai daun, dan daun ini akan bermakna baginya sejauh pengenalannya atas eksistensi daun; dan (b) Tampak Visual Tak Dikenal, jika ketertampakannya tidak menjadi makna, seperti pemulung melihat buku-buku sebagai tumpukan kertas yang bisa dijual kiloan, dan bukan karena isinya. Buku bermakna terutama karena isinya, tetapi bagi pemulung makna buku tergantung seberapa berat kertasnya. Suatu obyek dikenal atau tak dikenal tertentukan oleh konstruksi budaya Subyek-yang-Memandang, yang jika kemudian memotret akan disebut Subyek-yang-Memotret, karena akan sampai pada lapisan selanjutnya. Lapisan ketiga adalah Tampak Fotografis Pada Tampak Fotografis, ketertampakan menjadi khusus, yakni hadir dalam seleksi keinginan dan kebutuhan seorang juru visual, dalam hal ini juru foto, apakah ia seorang pewarta, dokumentalis, peneliti, pengiklan, atau seniman foto. Faktor keinginan akan mencerap (a) Tampak Personal, dan faktor kebutuhan akan mencerap (b) Tampak Fungsional. Dalam kategorisasi makna seperti ini, ketertampakan visual dapat dipilih dari yang dipilah, tapi dapat pula terleburkan, jika suatu obyek memenuhi keinginan dan kebutuhan sekaligus—sehingga Tampak Personal sekaligus hadir sebagai Tampak Fungsional. Seorang pewarta foto yang tidak berselera memotret pipa-pipa baja akan tetap memotretnya jika tugas menuntutnya, dan dengan suka hati memotret aktris favoritnya, ada maupun tidak ada penugasan untuk itu; sama seperti seorang ilmuwan dengan lensa mikro memotret, misalnya, unsur-unsur pembentuk spesies cacing pita baru.
Tampak Foto bagi Pemandang
Kesahihan Subyek-yang-Memandang berlangsung dalam proses yang sepintas lalu merupakan kebalikannya, yakni mulai dari fotonya, tetapi bukan untuk menjejaki proses yang sudah dilalui juru foto, melainkan untuk membongkarnya dalam pembermaknaan Subyek-yang-Memandang. Saya kira proses menuju foto pun melalui lapisan visual pertama, yakni Tampak Optis, tempat saya sebagai pemandang foto proyek Senjakala Kalijodo karya RA Vadin, menyelusuri setiap bingkai foto dalam ketertampakannya yang hitam-putih, dengan hanya satu foto berwarna sebagai foto yang terakhir. Memasuki lapisan kedua, saya kenali puing-puing penggusuran, yang memperlihatkan sejumlah penanda seperti botol-botol minuman keras, poster perempuan seksi, bekas bar, gambar perempuan yang diperlihatkan payudaranya, konstruksi ”tempat tidur” semen bertuliskan FOR SEX yang semestinya terdapat kasur di atasnya—foto-foto ini saya kira berhasil menunjukkan bahwa tempat yang digusur itu adalah wilayah kehidupan malam, bahkan lebih spesifik lagi daerah hitam atau lampu merah. Meskipun begitu, saya kenali pula penanda-penanda yang terdudukkan untuk bermakna sebaliknya, bahwa terdapat ”orang-orang biasa” yang sebagaimana warga khalayak mana pun berangkat kerja pada pagi hari, anak-anak mereka bersekolah dan mendapat ijazah, beribadah, tetapi ikut tergusur—foto-foto ini bagaikan artefak masa lalu bagi lokasi Kalijodo masa kini, yang telah menjadi pusat rekreasi serba positif dan modern, seperti ditunjukkan foto terakhir yang berwarna, bagaikan antitesa peradaban tubuh nan naluriah dalam istilah ”profesi tertua”. Secara keseluruhan foto-foto ini meruapkan kondisi kumuh, yang tampak ironis dalam kecemerlangan digitalnya. Keterpukauan atas pencapaian teknologi itu tak tersingkirkan oleh fakta muram yang merupakan informasi foto-fotonya, karena secara visual memang tak dapat diingkari. Foto-fotonya terlalu bersih untuk tempat kumuh. Hitam-putihnya masih dramatik, seperti karakter spesifik hitam-putih, tetapi hitam-putih metalik. Itulah Tampak Visual Dikenal bagi saya, selebihnya bukan tak terlihat, melainkan masuk kategori Tampak Visual Tak Dikenal, yang sangat mungkin merupakan gejala kekebalan, alias ”sudah immune”, akibat terlalu seringnya melihat foto penggusuran. Memasuki lapisan ketiga, Tampak Fotografis bagi Subyek-yang-Memotret, saya kira dapat menjadi Tampak Subyektif bagi Subyek-yang-Memandang, karena kategori Tampak Personal maupun Tampak Fungsional tergantung dan tertentukan oleh kedudukan atau sudut pandang Subyek-yang-Memandang itu. Dalam hal saya, Tampak Personal maupun Tampak Fungsional terleburkan dan mengarah kepada hanya satu foto. Dalam seluruh ruang bingkai foto itu hanya terdapat satu lukisan.
”Jaka Tarub”: Lukisan, Repro, Foto

Adapun lukisan itu sendiri cukup terkenal, jika tidak sangat dikenal, dan sangat saya kenali, sehingga tentunya dengan seketika berada di lapisan kedua, bahkan satu-satunya yang masih tampak pada Tampak Subyektif sebagai lapisan ketiga. Lukisan itu berjudul ”Jaka Tarub” (cat minyak di atas kanvas, 170 cm x 255 cm), karya Basuki Abdullah, yang paling sering mengalami reproduksi, baik dalam cetakan maupun dilukis ulang, sampai menjadi klise atas tema tersebut. Dalam foto Vadin, gambar itu mengalami cropping, dan tersematkan pada dinding berlapis tegel. Bagaimana gambar ini mendapatkan maknanya dalam konteks penggusuran daerah lampu merah Kalijodo? (Lukisan ”Jaka Tarub” dan foto atas reproduksinya di Kalijodo sebelum digusur dapat dilihat di https://duniasukab.com/?p=1100 atau http://wp.me/p44nD-hK). Pertama, jika legenda lahirnya nama Kalijodo memang tentang jodoh, atau pencarian jodoh, maka Jaka Tarub yang mengintip tujuh bidadari mandi itu mendapatkan jodoh bidadari dengan mencuri busana salah satunya, karena membuat bidadari bernama Nawangwulan itu tak bisa terbang pulang. Kedua, terhadap para pekerja seks komersial, yang menjadi obyek pemerasan sindikat prostitusi, identifikasi diri sebagai bidadari yang kehilangan busana itu mungkin. Keterbukaan tubuh-tubuh bidadari itu juga sangat mungkin membuat reproduksi lukisan Jaka Tarub terpasang di sana. Betapapun, cerita dari lukisan itu terbandingkan dengan kondisi mereka. Ketiga, bahwa Nawangwulan menemukan busana di lumbung yang kosong padi, sehingga bisa terbang pulang ke asalnya, menjadi impian yang bisa diharapkan terjadi kepada mereka, sehingga lukisan itu mendapatkan maknanya. Keterhubungan antara kisah bidadari dalam lukisan itu, dan nasib perempuan pekerja seks komersial, sahih sebagai produk bongkar-pasang berbagai pertimbangan dalam wacana penggusuran di Kalijodo, obyek foto-foto RA Vadin. Dalam wacana seperti itulah, foto yang satu ini hadir sebagai Tampak Subyektif, bagi saya sebagai Subyek-yang-Memandang. Bagi saya, inilah jalan bagi Subyek-yang-Memandang, untuk memberlangsungkan pembermaknaannya sendiri, tanpa harus mengacu—apa lagi tergantung sepenuhnya—kepada Subyek-yang-Memotret sebagai sumber makna, yang memang tidak perlu dianggap tersahih. Jadi bukan hanya pengarang yang mati ketika tulisannya dibaca, tetapi juga juru foto ketika hasil pemotretannya dipandang, yang juga berarti dihidupkan.[Kompas15 Jul 2017SENO GUMIRA AJIDARMA Wartawan]

Selasa, 08 Agustus 2017

Assalammualaikum, Salar

AVONTUR | FOTO PEKAN INI
SALAR merupakan salah satu etnis minoritas yang beragam Islam di Tiongkok. Etnis Salar mendiami wilayah Kabupaten otonomi Etnis Salar Xunhua yangterletak di timur laut Xining, ibu kota Provinsi Qinghai. Dibutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan menggunakan bus menuju Salar dengna melintasi jalan berkelok menyusuri tebing, berpadu dengan keindahan alam berupa gugusan pegunungan. Nama Salar diyakini berasal dari nama suku Turkmenistan yang dipanggil dengan “Salor”.
Sebagian besar warga yang bermukim di pinggiran Sungai Kuning ini bermatapencaharian sebagai petani dan pedagang.
Masjid Gaizi merupakan masjid bear yang menyimpan sejarah panjang etnis Salar. Di dalam museum di kompleks masjid itu tersimpan Al Quran bertulis tanagn yang jadi identitas mereka.
Unta putih menjadi lambang dari etnis Salar. Patung unta putih di Camel Spring diyakini sebagai awal mula etnis Salar di wilayah itu. Banyak versi cerita tentang sejarah etnis Salar. Namun, menurut cerita masyarakat setempat, adalah dua saudara laki-laki yang berkelana mencari daerah baru dengan seekor unta putih yangmembawa sebuah tas berisi tanah, sebotol air, dan kita suci Al Quran dari tanah air mereka. Hingga suatu malam unta putih itu menghilang dan ditemukan telah menjadi patung. Namun, tas berisi tanah, air, dan Al Quran itu tetap utuh di punuknya. Air dan tanah yang dibawa sama dengan air dan tanah di lokasi tesebut sehingga mereka memutuskan untuk menetap di wilayah itu.[*/CANONKAMERABLOGSPOT.COM -  Sumber : Kompas, Minggu, 9 Oktober 2016 | Teks dan Foto Oleh : Raditya Priyombodo]
KEYWORDS:   memori kelam,terus terulang.
TAGS: keputusasaan,ketakuan,cerita memilukan,Kamp 21,Museum Tuol Sleng.
DESCRIPTION :  
Excerpt : Alat-alat penyiksaan, bercak darah, dan coretan tembok yangmengisahkan ketakutan dan keputusasaan menjadi cerita memilukan saat pengunjung melangkah menyusuri sudut museum Tuol Sleng.

# Refleksi menara Masjid Gaizi di sumber air Camel Spring
#Sejarah Etnis Salar di tembok pagar Camel Spring
#Remaja muslim Salar
#Muslim Salar menuju masjid untuk menunaikan shalat Ashar berjemaah.
#Wanita Salar menikmati keindahan di pinggiran Sungai Kuning.



Jumat, 07 Juli 2017

Memori Kelam yang Terus Terulang

AVONTUR | FOTO PEKAN INI
PADA masanya, bangunan bertingkat yang bercat putih kusam itu adalah sebuah sekolah menengah pertam Tyol Svay Prey di kota Phnom Penh, Kamboja. Hingga pada April 1975 ata perintah Pol Pot yang memimpin rezim Khmer Merah, sekolah dibuah menjadi sebuah penjara manusia.
Penjara yang dinamai S21 (security office) Tuol Sleng menjadi ruang-ruang penyekapan dan penyiksaan bagi ribuan orang. Mereka terdiri dari politikus, dokter, akademisi, pengacara, biksu hingga pelajar. Alat-alat penyiksaan, bercak darah, dan coretan tembok yang mengisahkan ketakutan dan keputusasaan menjadi cerita memilukan saat pengunjung melangkah menyusuri sudut museum Tuol Sleng.
Pengunjung yang masuk akan dibekali sebuah alat bantu untuk mendengarkan narasi bagaimana para tahanan diperlakukan seara tidak manusiawi oleh tentara Khmer Merah di dalam kamp penyiksaan. Pembantaian kelas menengah yang dilakukan oleh rezim Pol Pot kala itu di kamp S21 untuk menghapus pengaru hdari pengikut rezim Lon Nol.
Anna (37), turis dari Inggris, yang duduk di tengah ruangan denga peanti dengarnya menatap tajam foot puluhan wajah perempuan dan anak yang turut menjadi korban. Menurut dia korban kekejaman pembunuhan yang jauh dari nilai kemanusiaan akiabat dari perbedaan pandangan politik , agama, dan suku masih berlangsung di sejumlah belahan dunia sampai detik ini.
Seperti tujuan museum Tuol Sleng ini diepertahankan utnuk mengingatkan dan mengisahkan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan tidak ada saat itu. “Bentuk kekejaman yang tidak manusiawi seolah tidak bisa berhenti sampai sekarang hanya berubah wujud, cara, dan berpindah-pindah tempat. “ katanya. [*/CANONKAMERABLOGSPOT.COM -  Sumber : Kompas, Minggu, 21 Agustus 2016 | Teks dan Foto Oleh : Raditya Mahendra Yasa]

KEYWORDS:   memori kelam,terus terulang.
TAGS: keputusasaan,ketakuan,cerita memilukan,Kamp 21,Museum Tuol Sleng.
Excerpt : Alat-alat penyiksaan, bercak darah, dan coretan tembok yangmengisahkan ketakutan dan keputusasaan menjadi cerita memilukan saat pengunjung melangkah menyusuri sudut museum Tuol Sleng.

# Wajah-wajah beku korban
#Memori kelam kamboja
#Bayangan Kekejaman
#Ruang-ruang penjara
#Lorong Kematian



Selasa, 06 Juni 2017

Senandung Sunyi Kematian Pabrik Mori

AVONTUR |FOTO PEKAN INI
#Terbunuh

#Terkunci
#Terdiamkan
# Tertutupi
#Terbisu
Cameracanon.blogspot.com BANGUNAN  megah itu berdiri gagah menghadap utara. Ornament semi-art deco berbaur dengan gaya arsitektur era 1970-an menghias di sana-sini. Namun, kegagahan dan keelokan gaya bangunan itu hanya menjadi sisa sedikit yagn tampak. Kini, aura bangunan itu jauh lebih buruk dari yang seharusnya tergambarkan. Lusuh dan tak terawat.
Itulah gambaran kondisi bangunan pabrik kain cambric (kain mori) PC Rukun Batik, Ciamis, Jawa Barat, yang mati dan sempat berganti menjadi pabrik busa hingga tahun 1997. Kain mori menjadi salah satu bahan baku batik Ciamis.  Di saat yang sama, kondisi batik itu pun terseok di antara geliat liat usaha batik di Priangan, sperti Tasikmalaya dan Garut. Ilalang hampri memenuhi setiap sudut lubang jendelanya. Barisan semut yang bersemai di antara rerimbunan, kelepar sayap kelelawar, dan sesekali burugn wallet yang singgah menjadi kegaduhan dari denyut kehidupan yang kini ada.
Tulisan “PC Rukun Batik” di atas bangunan masih menancap, namun berkarat. Mesin-mesin besar tak lagi bergerak berirama memproduksi ribuan meter kain. Kaca-kaca pecah di sana-sini.

Matinya pabrik mori itu turut menjadi penanda era surutnya kehidupan perbatikan di Ciamis. Gempurang kain printing motif batik dari China yang gelombangnya mulai besar masuk ke Indonesia sejak 1980-an membuat batik Ciamis nyaris tinggal cerita. Meski masi hmenyisakan segelintir tenaga yang berusaha menyelamatkan warisan keeokan motif batik mereka, tetapi kini tak sesemarak lampau. Pabrik kain mori yang mati itu menjadi penandanya. [Kompas, Minggu 7 Agustus  2016 |Teks dan Foto Rony Ariyanto Nugroho ]

Jumat, 05 Mei 2017

Sejarah Perang di Balik Gubuk Muhlis Eso

AVONTUR |FOTO PEKAN INI
#Muhlis Eso dan barang peninggaln Perang Dunia II di gubuk museum niliknya di Kecamatan Morotai Selatan, Kepulauan Morotai, Maluku utara, Senin (18/7)

#Rumah gubuk dan gubuk museum Muhlis Eso
#Proyektil dan serpihan bom serta benda peninggalan tentara Amerika Serikat
#Botol bekas minuman lemon dan soda  tentara Amerika Serikat
# Muhlis Eso menyusuri tempat persembunyian prajurit Jepang, Teruo Nakamura, di Air Terjun Nakamura di Desa Dehegila, Morotai, Maluku Utara, Minggu (17/7). Tempat ini dinamakan Air Terjun Nakamura sesuai nama prajurit Jepang yang besembunyi dari tentara Amerika Serikat pada masa Perang Dunia II.
Cameracanon.blogspot.com CERITA  Dunia Ke Dua yang dituturkan sang kakek membekas dalam ingatan Muhli Eso. Muhlis yagn kala itu masi hberusia sepuluh tahun tergerak utnuk mencari jejak peperangan tentara Ameriak Serikata dan Jepang di bumi Moro. Kini, 26 tahun sudah Muhlis mengelilingi Pulau Morotai, masuk dan kelaura hutan mencari barang peninggalan perang untuk membuktikan cerita sang kakek.
Satu persatu barang yagn dia temukan dikumpulna dalam museum yang dia bangun di samping rumah gubuknya. Benda-benda bersejrah bernilai tinggi itu semetinya bisa membuatnya kaya. Tapi, Muhlis memilih hidup penuh keterbatasan demi menyelamatakan sejarah penging dunia di Morotai. Semangatnya berapi-api ketika bertutur tentang Morotai dalam peta Perang Dunia II. Hampir semua jenis senapan ia hafal, lengka pdengn tahun pembuatan dan penggunanya.
Untuk mencari barang peninggalan perang yagn tertimbun tanah. Muhlis hanay menggunakan besi lot yang ia tusuk-tusukkan ke dalam tanah. Dari setiap benturan dan bekas goresan di besi, ia segera tahu benda yang terkubur di dalamnya.
Raut murung tergores di wajah Muhlis tatkala ia menceritakan benda-benda peninggalan perang di Pulau Morotai tiba-tiba diambil dan dihancurkan untuk dilebur. Pesawat tempur, tank ampifi, dan mobil perang yagn masi hbisa ia lihat saat kecil kini hanya tersisa dua unit amfibi.

Aksi Muhlis ialah upaya kecil membuka Morotai sebagai gerbang pasifik. Posisi Morotai yang strategis dalam Perang Dunia II menjadikannya sebagai bagian dari strategi lompat katak panglima perang Jenderal Douglas MacArthur untuk merebut kembali Filipina dari Jepang. [Kompas, Minggu 31 juli  2016 |Teks dan Foto Lucky Pransiska ]

Selasa, 04 April 2017

POTRET MURAM PESISIR UTARA

FOTO PEKAN INI
#Imajinasi Keindahan Semesta
#Mengirim Doa
#Perjalana Ziarah
#Sisa Terjangan Ombak
# Tanah Terakhir

Cameracanon.blogspot.com – ABRASI  yang terus menggerus pantai utara Jawa selama puluhan tahun menghilangkan daratan. Air laut menggenang hingga beranda rumah warga akmpung. Garis pantai yang terus menghilang menggiring ombak yang menerobos tanpa batas.
Lahan pertanian, pekarangan dan rumah yang mereka tinggali lambat  laun tenggelam. Hidup mereka berdampingan dengan genagan rawa berair payau.
Lukisan alam besama satwa di sepanjang tembok kampugn menjadi sebuh imajinasi dan sebatas mimpi. Jejak leluhur yang mereka tandai dengan batu dan kayu nisan turut pelan-pelan tenggelam di bawan permukaan air.
Tradisi berziarah makam yang setiap waktu dilakukan membuat warga Kampung Tambakmulyo, Kampung Tambakrejo, Kmapung Banadarharjo hingga Desa Bedono, Kabupaten Demak, harus bersusah payah menjaga setiap jengkal tanah agar tidak tenggelam.
Warga terus-menerus meninggikan gundukan tanah makam. Begitu juga mereka harus menyelamatkan rumah dengan meninggikan lantai agar tidak tergenang.
Sebuah ironi pesisir pantai utara ketika sebagian daratan menghilang dan mereka tengeglam, sebagian lain menciptakan daratan baru yang menawarkan masa depan….[Kompas, Minggu 10 Januari  2016 |Teks dan Foto P Raditya Mahendra Yasa ]

Jumat, 03 Maret 2017

Memasuki Musim Kebakaran Hutan

FOTO PEKAN INI

#Sebaran asap kebakaran

#Terbang di Antara Batang Arang

#Bersih bersih

#Sisa Api

#Membuat Tampungan

Cameracanon.blogspot.com – SEEKOR  gagak terbang di antara batang arang. Beberapa kali ia berputar-putar sambil berkicau lantang. Ia mungkin sedang mencari rumah, sahabat, dan keluarganya yang hilang. Hilang terbakar api…[Kompas, Selasa 20 Maret  2016 |Teks dan Foto Wawan H Prabowo ]

Kamis, 02 Februari 2017

Catatan Fotografis Gerhana Lalu

FOTO PEKAN INI
#Saat puncak gerhana (Ternate), yang kontras rendah dan beberapa belas detik setelah puncak gerhana yang kontrasnya leibh baik pulus bonus “cincin berlian” (Palu).
Cameracanon.blogspot.com – GERHANA matahari total yang melalui beberapa wilayah Indonesia pada 9 Maret lalu adalah gerhana matahari yang paling banyak dipotret dibandingkan gerhana-gerhana sebelumnya. Selain ini merupakan GMT pertama di Indonesia pada era fotografi digital ketika fotografi telah menjadi hal yang sangat membumi, euphoria akan kejadian ini juga dipacu aneka media yang ada.
Sebelum 2016 ini, harian kompas mengabadikan gerhana matahari total (GMT) pada 1995 di Sangir oleh fotografer Julian Sihombing (almarhum), memakai film. Saya yang juga memotret gerhana memakai film pada 1998 (gerhana matahari cincin) merasakan bahwa pemotretan memakai sarana digital jauh lebih mudah dan pasti.  Pada 1995 dan 1998 itu, baik saya maupun Julian cukup boros melakukan bracketing karena hasil pemotretan sungguh-sungguh baru diketahui setelah film diproses.
Pemilihan tempat
Pemotretan GMT akan gagal total manakala langit di tempat pemotretan tidak bersih, baik oleh mendung mauun polusi udara. Kalau dulu, pada era film, bracketing dilakukan untuk pemotretannya, pada tahun ini bracketing dilakukan dalam memilih tempat pemotretannya.
Harian kompas memutuskan memotret GMT 2016 dari banyak tempat, yaitu Pelembang (2 fotografer), Belitung, Ternate, dan Palu. Akhirnya, hanay Ternate dan Palu yang menghasilkan foto terbaik. Walau begitu, foto dari Ternate masih diwarnai langit yang tidak terlalu cerah.
Catatan terpenting dari pemotretan GMT kali ini adalah, saat terjadi puncak gerhana, kontras yang ada sangatlah rendah. Selain ISO tinggi harus dipakai (ISO 800 ke atas) untuk mendapatkan kecepatan rana yang memadai (minimal 1/60 agar fotonya tajam karena baik bulan maupun matahari bergerak uckup cepat), pemofokusan sebaiknay memakai mode manual. Dari pengalaman lalu, otofokus sulit didapat saat puncak GMT terjadi.
Sementara momen beberapa belas detik setelah puncak GMT, yaitu saat Bulan sudah tidak menutup Matahari secara total lagi, itu adala hsaat memotret terbaik. Selain kontras lebih baik, otofokus bisa berfungsi lagi, pemunculan titik sinar yang sering disebut “cincin berlian” juga menjadi hal khas sebuah GMT.
Fotografer Yuniadhi Agung yang memotret cincin berlian di halama ini memakai lensa 300 mm /f2,8 yang memakai telekonverter 2X. dari EXIF terliaht bahwa diafragma yang terjadi adalah f/36. Ini adalah angka akibat perpanjangan converter karena sesungguhnya Yuniadhi memasang f/18 di lensa 300 mm-nya. Maka, efek f/36 ini membuat titik berlian menjadi berbintang alias berpendar.
Sementara menyangkut white balance (WB), Heru Sri Kumoro di Ternate memotret puncak gerhana memakai WB daylight. Akibatnya, fotonya menjadi kebiruan. Sesungguhnya puncak gerhana adalah blue hour karena cahaya yang sampai ke bumi adalah cahaya yang melewati langit biru, bukan dari Matahari langsung. Yuniadhi memakai WB auto  yang berkerja baik sehingga fotonya “normal”.
Film rontgen dan kaca las
Hal lain yang mencuat adalah kenyataan bahwa banyak barang bisa dipakai sebagai filter untuk memotret gerhana ini, terutama gerhana parsial. Raditya Helabumi dan Raditya Darian Suryahutama memotret memakai film rontgen di Tugu Tani, Jakarta, dan di Tangerang. Sementera Ferganata Indra Riatmoko memotret memakai kaca las di Candi Borobudur.[Kompas, Selasa 15 Maret  2016 |Teks dan Foto Arbain RAmbey ]

Minggu, 01 Januari 2017

SULITNYA MENGOLAH DAN MEMURNIKAN EMAS

Cameracanon.blogspot.com –DI INDONESIA , penambangan emas dilakukan oleh perusahaan Negara, swata, dan masyarakat umum. Namun untuk pembuatan dan pemurnian emas, satu-satunya pabrik pengolahan dan pemurnian logam mulia di Indonesia hanyalah unit pengolahan dan pemurniaan  logam mulia PT Aneka Tambang (Antam). Pabrik yang berlokasi di kawasan Pulogadung, Jakarta Timru, itu berdiri sejak 1930-an.
Produk utama pabrik ini adala hemas murni dalam bentuk batangan emas satandar berkadar 99,99 persen. Selain itu, produk lain juga dibuat, seperti medali, liontin, serta emas industry untuk kebutuhan  perhiasan dan kebutuhan dokter gigi.
Secara garis besar, pemurnian logam mulia meliputi proses peleburan, electrorefining perak, pelarutan, electrorefining emas, dan percetakan. Produk akhirnya adalah emas murni, yang dicetak menjadi berbagai ukuran, dan Kristal perak murni.
Setelah proses peleburan, di lakukan proses produksi emas yang meliputi perancangan desain, percetakan, pemberian tanda dan logo, pemberian nomor seri, dan pengecekan berat agar sesuai standar.
Kualitas produk yang dihasilkan diawasi dengan ketat agar memenuhi standar emas dunia yagn ditentukan oleh lembaga bernama London Bullion Market Association (LBMA). Sejak akhri Desember 1998, pabrik ini terpilih sebagai produsen emas yang dinilai mampu mencetak dan memurnikan emas dengan berat dan kadar yang sangat teliti dan benar (99,99 persen).

Mulai 1 januari 1999, emas yang diproduksi pabrik ini berhak memperoleh sertifikat LBMA dan tercatat dalam London Good Delivery List For Gold. Dengan kadar seperti itu, emas produksi pabrik ini sudah diterima di pasar Singapura, Hongkong, dan beberapa Negara lain.