Jumat, 25 Maret 2011

TIPS & TRIK

Kiat Menggabungkan Dua Pencahayaan


Foto B karya Jimmy Yuwono di halaman ini sungguh menawan. Foto pernikahan yang kreatif ini menampilkan langit yang indah ditambah pencahayaan untuk model yang pas. Penggabungan cahaya alam dan cahaya buatan tidaklah semata untuk fill in (koreksi), tetapi merupakan upaya kreatif untuk mendapatkan foto yang jauh lebih kuat daripada kalau memakai semata satu sumber cahaya saja.



Membuat foto dengan pencahayaan gabungan adalah menggabungkan cahaya matahari (entah kuat atau redup) dengan cahaya buatan yang biasanya lampu kilat dengan berbagai tingkat kekuatan.

Sekarang, perhatikan foto A yang memotret pengusaha nyentrik Bob Sadino di teras rumahnya. Suasana pagi yang hangat memang menarik untuk jadi saat pemotretan. Namun, ada kendala utama, yaitu kalau Bob Sadino duduk di teras, cahaya matahari tidak mencapainya karena terhalang sebuah bagian atap teras. Hal ini terlihat di foto A bagian atas.



Akhirnya, bantuan cahaya lampu kilat membuat Bob Sadino seakan diterangi cahaya matahari langsung.

Langit pagi

Sementara foto D, yang memotret mantan Puteri Indonesia Nadine Chandrawinata dengan dua gajah sumatera, punya kasus yang sedikit berbeda.

Pemakaian lampu kilat bukan karena cahaya matahari terhalang atap teras seperti pada kasus foto A. Pada foto D ini, matahari memang belum muncul.

Pemilihan saat pemotretan kala matahari belum muncul adalah untuk mendapatkan warna langit pagi yang penuh warna. Saat matahari masih di bawah cakrawala memang menghasilkan aneka warna. Dan saat matahari telah muncul, aneka warna itu akan hilang.

Maka, ketiadaan matahari pada foto D digantikan lampu kilat dengan pengukuran yang pas.

Sementara foto C lain lagi. Foto artis dan politikus Rieke Dyah Pitaloka ini memakai lampu kilat karena cahaya matahari yang ada sudah tidak cukup kuat untuk mendapatkan kontras yang memadai dan juga tidak mampu untuk mendapatkan kecepatan rana yang cukup cepat.



Pemakaian lampu kilat pada foto C adalah ”meniru” dan menguatkan cahaya matahari. Dan untuk mendapatkannya, posisi lampu kilat diletakkan di posisi datangnya cahaya matahari.

Teori pencahayaan dasar

Menggabungkan pencahayaan alam dan pencahayaan buatan menuntut sang fotografer menguasai benar teori dasar pencahayaan. Hal paling penting yang harus disadari adalah beda pokok cahaya alami yang menerus (continuous) dan cahaya lampu kilat yang sekejap.

Dengan demikian, perhitungan kecepatan rana dan diafragma harus adaptif terhadap kedua tipe pencahayaan ini.

Sebenarnya perhitungan pencahayaan untuk pencahayaan gabungan ini bisa sangat rumit, misalnya dengan flash meter ke berbagai titik, tetapi juga bisa dibuat sangat gampang. Dengan kamera digital, kita bisa memudahkan pemotretan pencahayaan gabungan ini karena toh kita selalu bisa menganalisis hasil pemotretan kita setiap saat.

Secara umum, hal ini bisa dibagi menjadi dua macam perhitungan, yaitu, pertama, kalau lampu kilatnya bisa diatur kekuatannya dengan mudah. Yang kedua adalah kalau kita mau membiarkan kekuatan lampu kilat apa adanya pada kekuatan maksimumnya.

Hal terpenting adalah jangan memakai mode P, A, atau S. Pakailah mode M agar pilihan rana dan diafragma terkontrol. Kemudian, pakailah ISO serendah mungkin tergantung kekuatan lampu kilat kita. Kalau kita memakai lampu kilat portabel (kecil), ISO 400 mungkin memadai. Namun, kalau kita memakai lampu studio, ISO 100 atau bahkan lebih rendah lagi akan menghasilkan foto yang lebih tajam dan halus.

Pada cara yang pertama, kita ukur dulu kombinasi rana dan diafragma untuk latar belakangnya. Misalnya kita dapatkan kombinasi rana 1/60 detik dan diafragma 8. Lalu kita memotret lagi dengan kombinasi itu, tetapi sudah dengan tambahan lampu kilatnya. Perhatikan hasil pencahayaan oleh lampu kilatnya. Kalau terlalu terang, kekuatan lampu kilat tinggal dikurangi. Demikian pula sebaliknya kalau cahaya lampu kilat terlalu lemah.

Sementara dengan cara yang kedua, atau yang tanpa mengubah-ubah kekuatan lampu kilatnya, kita juga memulainya dengan mencari kombinasi rana dan diafragmanya. Katakanlah hasilnya rana 1/60 detik dan diafragma 8.

Setelah kita memotret lagi dengan tambahan lampu kilat, lalu kita analisis gambarnya. Kalau pencahayaan dengan lampu kilatnya terlalu terang, kita tentu harus mempersempit bukaan diafragmanya. Katakanlah tadi kita memakai 8, maka harus diubah menjadi 11.

Kemudian, karena difragma diubah menjadi 11, otomatis untuk membuat penyesuaian yang baik bagi latar belakangnya, kecepatan rana harus disesuaikan dari 1/60 menjadi 1/30 detik.

Ingat, lampu kilat hanya terpengaruh oleh bukaan diafragma. Selama kecepatan rananya masih di bawah kecepatan sinkron (agar aman, secara umum kamera digital punya batas kecepatan sinkron maksimal 1/200 detik), kecepatan mana pun yang dipilih tidak akan memengaruhi hasil. Namun, cahaya menerus (continuous) seperti cahaya matahari akan tergantung kombinasi rana dan diafragma sekaligus.

Jadi, pemotretan dengan pencahayaan gabungan menuntut adanya pemahaman bahwa kita menggunakan dua hukum pencahayaan. Yang pertama adalah hukum pencahayaan cahaya menerus yang mengombinasikan rana dan diafragma, serta hukum pencahayaan lampu kilat yang semata mendasarkan pada bukaan diafragma pada kecepatan sinkron.

Rabu, 09 Maret 2011

Mengatasi Kondisi Lemah Cahaya

Mengatasi Kondisi Lemah Cahaya


oleh Arbain Rambey 


executive summary by Hendri Tan
Sampai beberapa waktu lalu, kamera Olympus jarang diperhitungkan manakala membicarakan pemotretan dalam kondisi cahaya lemah. Salah satu penyebabnya adalah ukuran sensor kamera Olympus yang ukurannya hanya sekitar separuh ukuran sensor kamera DSLR 135 fullframe. Dengan ukuran sensor yang kecil, grain menjadi begitu besar pada perbesaran yang sama dengan kamera 135. Bagaimana ”nasib” Olympus E-5 yang belum lama diluncurkan?



Tulisan ini tidak semata membicarakan Olympus E-5, tetapi juga mengulas sedikit cara menguji kemampuan sebuah kamera digital modern. Pada pemotretan dengan pencahayaan normal, atau dengan cahaya matahari dengan kecerahan sehari-hari, relatif sebuah kamera sulit dibedakan kemampuannya dengan kamera lain



Namun, dalam kondisi pencahayaan yang ”sulit” (melawan arah cahaya, redup, warna monoton, kontras rendah), mutu kamera mudah dibedakan. Kondisi ”sulit” seperti yang baru saja disebutkan secara umum belum bisa diatasi kamera HP (telepon genggam) atau kamera saku yang ada saat ini.



Tulisan ini juga menunjukkan bahwa pemotretan sebuah pertunjukan musik bisa hanya dengan menggunakan sebuah lensa, bahkan tanpa berpindah tempat. Dengan sebuah lensa zoom Zuiko 50-200 f2,8-3,5, semua foto di halaman ini dihasilkan.

Periode peralihan

Olympus E-5 (tipe Fourthird) muncul saat Olympus sedang gencar-gencarnya mengorbitkan seri Pen alias kamera tanpa cermin yang biasa disebut sistem Micro Fourthird. Bisa dikatakan bahwa E-5 muncul di periode peralihan.



Rekan kerja sama Olympus, yaitu Panasonic, bahkan sudah menghentikan sementara pembuatan kamera kelas Fourthird (Lumix L1 dan L 10) karena sedang menggenjot kelas Micro Fourthird, yaitu seri G, GH, dan GF.



Dan, sesuai pernyataan Olympus sejak sekitar tiga tahun lalu, Olympus memang menghentikan ukuran megapiksel di angka 12. Setelah E-3 yang 10 megapiksel, E-5 yang muncul hampir 4 tahun kemudian hanya ditambah kemampuan rekam 2 megapiksel.



Sesungguhnya, secara umum, 12 MP memang sudah sangat cukup untuk keperluan sehari-hari. Yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan merekam kondisi sulit seperti yang disebutkan di atas.

E-5 sudah berhasil mengatasi ”hambatan” yang selama ini muncul pada penggunaan kamera Olympus di kondisi redup. ”Kebijaksanaan” lain pada E-5 adalah harganya bisa ditekan rendah karena memakai badan yang sama dengan E-3.

A pure desire

A pure desire by Hendrik Tan




Touch the lumix GF-2




New generaton system cameras, lumix g, micro system from Panasonic , ideas for life