Kamis, 02 Februari 2017

Catatan Fotografis Gerhana Lalu

FOTO PEKAN INI
#Saat puncak gerhana (Ternate), yang kontras rendah dan beberapa belas detik setelah puncak gerhana yang kontrasnya leibh baik pulus bonus “cincin berlian” (Palu).
Cameracanon.blogspot.com – GERHANA matahari total yang melalui beberapa wilayah Indonesia pada 9 Maret lalu adalah gerhana matahari yang paling banyak dipotret dibandingkan gerhana-gerhana sebelumnya. Selain ini merupakan GMT pertama di Indonesia pada era fotografi digital ketika fotografi telah menjadi hal yang sangat membumi, euphoria akan kejadian ini juga dipacu aneka media yang ada.
Sebelum 2016 ini, harian kompas mengabadikan gerhana matahari total (GMT) pada 1995 di Sangir oleh fotografer Julian Sihombing (almarhum), memakai film. Saya yang juga memotret gerhana memakai film pada 1998 (gerhana matahari cincin) merasakan bahwa pemotretan memakai sarana digital jauh lebih mudah dan pasti.  Pada 1995 dan 1998 itu, baik saya maupun Julian cukup boros melakukan bracketing karena hasil pemotretan sungguh-sungguh baru diketahui setelah film diproses.
Pemilihan tempat
Pemotretan GMT akan gagal total manakala langit di tempat pemotretan tidak bersih, baik oleh mendung mauun polusi udara. Kalau dulu, pada era film, bracketing dilakukan untuk pemotretannya, pada tahun ini bracketing dilakukan dalam memilih tempat pemotretannya.
Harian kompas memutuskan memotret GMT 2016 dari banyak tempat, yaitu Pelembang (2 fotografer), Belitung, Ternate, dan Palu. Akhirnya, hanay Ternate dan Palu yang menghasilkan foto terbaik. Walau begitu, foto dari Ternate masih diwarnai langit yang tidak terlalu cerah.
Catatan terpenting dari pemotretan GMT kali ini adalah, saat terjadi puncak gerhana, kontras yang ada sangatlah rendah. Selain ISO tinggi harus dipakai (ISO 800 ke atas) untuk mendapatkan kecepatan rana yang memadai (minimal 1/60 agar fotonya tajam karena baik bulan maupun matahari bergerak uckup cepat), pemofokusan sebaiknay memakai mode manual. Dari pengalaman lalu, otofokus sulit didapat saat puncak GMT terjadi.
Sementara momen beberapa belas detik setelah puncak GMT, yaitu saat Bulan sudah tidak menutup Matahari secara total lagi, itu adala hsaat memotret terbaik. Selain kontras lebih baik, otofokus bisa berfungsi lagi, pemunculan titik sinar yang sering disebut “cincin berlian” juga menjadi hal khas sebuah GMT.
Fotografer Yuniadhi Agung yang memotret cincin berlian di halama ini memakai lensa 300 mm /f2,8 yang memakai telekonverter 2X. dari EXIF terliaht bahwa diafragma yang terjadi adalah f/36. Ini adalah angka akibat perpanjangan converter karena sesungguhnya Yuniadhi memasang f/18 di lensa 300 mm-nya. Maka, efek f/36 ini membuat titik berlian menjadi berbintang alias berpendar.
Sementara menyangkut white balance (WB), Heru Sri Kumoro di Ternate memotret puncak gerhana memakai WB daylight. Akibatnya, fotonya menjadi kebiruan. Sesungguhnya puncak gerhana adalah blue hour karena cahaya yang sampai ke bumi adalah cahaya yang melewati langit biru, bukan dari Matahari langsung. Yuniadhi memakai WB auto  yang berkerja baik sehingga fotonya “normal”.
Film rontgen dan kaca las
Hal lain yang mencuat adalah kenyataan bahwa banyak barang bisa dipakai sebagai filter untuk memotret gerhana ini, terutama gerhana parsial. Raditya Helabumi dan Raditya Darian Suryahutama memotret memakai film rontgen di Tugu Tani, Jakarta, dan di Tangerang. Sementera Ferganata Indra Riatmoko memotret memakai kaca las di Candi Borobudur.[Kompas, Selasa 15 Maret  2016 |Teks dan Foto Arbain RAmbey ]