Rabu, 12 Desember 2018

“Biodiversity” dan Pemaknaannya dalam Fotografi

KLINIK FOTOGRAFI  |  Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY

DALAM bahasa Inggris, definisi biodiversity adalah the variety of life in the world or in a particular habitat or ecosystem. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, makna itu kira-kira adalah keanekaragaman kehidupan di dunia atau di sebuah ekosistem. Selama ini, biodiversity diterjemahkan sebagai keanekaragaman hayati.
Bagaimana menerjemahkan keanekaragaman hayati itu dalam fotografi?
Antara terasa dan “tampak”
SEAMEO Biotrop Indonesia (Southeast Asian Ministers of Education Organization, Bagian Biologi Tropis) yang berpusat di Bogor, Jabar, sudah empat kali mengadakan lomba foto dengan tema yang cukup sulit ini. Lomba foto yang lingkunpnya ASEAN ini pada 2016 diikuti pencinta foto dari tujuh negara di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Myanmar, Vietnam, Thailand, dan Brunei, dengan total 863 foto yang disampaikan secara online melalui website lomba foto ini. Sebagai catatan, SEAMEO didirikan sebagai kerjasama antarnegara ASEAN pada tahun 1965.
Walaupun foto-foto pemenangnya secara fotografi bermutu tinggi, cukup menarik mengkaji bagaimana para peserta menerjemahkan tema ini. Sesuhngguhnya keanekaragaman hayati itu sering tampak dan terasda di hadapan kita, tetapi hal itu tentu tidak begitu saja bisa direkam dalam selembar foto.
Akhirnya, banyak peserta yang memainkan judul untuk menarik sebuah foto ke dalam tema seperti pada foto pemenang pertama kategori umum berjudul “This is what we inherited?” karya fotografer Abd Aziz Mohd Yaras dari Malaysia. Dengan penampakan dasar laut yang hanay bebatuan, Mohd Yaras memainkan judul fotonya soal warisan kepada anak cucu. Intinya, tidak ada keanekaragaman hayati lagi di masa depan kalau kita tidak merawat alam.
Sementara pemenang kedua kategori umum yaitu “Between fishermen and birds,” karya Ari Hidayat dari Indonesia, sesungguhnya juga memanikan judul yang membuat pembaca berasumsi bahwa di dalam foto itu setidaknya ada dua “macam” makhluk, yaitu burung dan manusia.
Di Indonesia, lomba foto dengan tema sulit seperti ini masih jarang diadakan. Dalam lomba yagn diadakan SEAMEO Biotrop ini pun, keagresifan peserta dari negara tetangga lebih terasa. Kalau saja lembaga-lembaga keilmuan lain di Indonesia juga akan membuat lomba-lomba foto dengan tema keilmuan, rasanya dunia fotografi Indonesia akan makin bermutu, tidak berkuta di tema-tema ringan seperti selama ini terjadi.
[*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 22 November 2016 ]

DESCRIPTION: Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya
KEYWORDS: foto jurnalistik,memahami foto, foto yang menarik,efek fotografi.
Excerpt : Fotografi buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS :

# Juara I Kategori Umum, Judul: “This is what we inherited?”, Fotografer: Abd Aziz Mohd Yaras (Malaysia)


#Juara 2 Kategori Umum, Judul: “Between fishermen and birds”, Fotografer: Ari Hidayat (Indonesia).


#Pemenang pertama kategori pelajar, Judul: “Field”, Fotografer: Muhamad Rahvi Hazwandy (Indonesia).



#Juara 3 Kategori Umum, Judul: “Drinking water “, Fotografer: Kyaw Kyaw Winn (Myannmar).

Minggu, 11 November 2018

Memahami Foto yang Menarik

KLINIK FOTOGRAFI  |  Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY

DALAM foto jurnalistik yang memberi info akan sesuatu, selala ada foto yang menarik dan ada foto yagn cenderung tidak dilihat orang. Foto menarik memancing orang untuk melihatnya sehingga infromasinya seperti “disuntikan” kepada pembaca secara otomatis.
Mengapa sebuah foto bisa lebih menarik dibandingkan foto yang lain?

belum pernah dilakukan penelitian besar tentang hal ini, tetapi berdasar sedkit “pengalaman lapangan” atas reaksi orang terhdap foto-foto berikut, barangkali ada beberapa hal bisa disimpulkan.

Hal pertama adalah foto lama tentang orang penting. Maka, manakala ada sebuah kegiatan orang penting, abadikanlah. Foto itu akan menjadi menarik, minimal di masa depan.
Hal kedua adalah efek fotografi. Foto detasemen 88 melakukan simulasi penanggulangan terror menjadi menarik karena efek geraknya dibuat ekstrem. Dalam pameran foto yagn pernah dibuat kompas, foto tersebut sangat mengundang orang untuk berhenti, sedangkan pada foto lain orang cenderung melihat sambil lalu.
Hal ketiga adalah sesuatu yang luar biasa. Dalam sebuah seminar tentang fotografi jalanan (street photography), foto wanita Bali membawa botol di atas kepalanya sambil naik sepeda motor adalah foto yang mengundang orang tertawa keras dan memintanya untuk melihat ulang.
Hal keempat adalah tentang realitas yang berbeda dengan apa yang teliaht. Foto dnenga judul “Bukan Arnold Schwarzenegger” tentu memancing orang melihat fotonya dan membaca teksnya. Lyndall Grant yang menjadi pemeran pengganti Arnold memang sangat mirip dengna bintang The Terminator tersebut. Foto itu menjadi menarik karena orang melihat Arnold, tetapi judul fotonya “Bukan Arnold”.
Dan, hal kelima adalah “pembatasan informasi”. Foto Pemimpin Palestina Yasser Arafat buatan tahun 2003 ini banyak mengundang komentar pembaca karena tidak menampilkan bagian bawah wajah Yasser Arafat, tetapi jelas bahwa foto itu foto Yasser Arafat. Pembuatan foto dengna penghilangan bagian yang sudah di mengerti pemcaca” hanay bisa dilakukan pada sedikit hal: orangnya sangat terkenal dengan ciri yang sangat khas.
Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya.
[*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 18 Oktober 2016 ]

DESCRIPTION: Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya
KEYWORDS: foto jurnalistik,memahami foto, foto yang menarik,efek fotografi.
Excerpt : Fotografi buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS : Lyndall Grant,Detasemen 88,Wanita di Bali,Pemimpin Palestina.  


# Lyndall Grant, seorang perancang taman berusia 49 tahun, akhirnya berprofesi sebagai tiruan Arnold Schwarsenegger yang merupakan Gubernur California karena kemirpan wajahnya. Gajinya sebagai pemeran pengganti Arnold pada kegiatan-kegiatan yang tidak dihadiri Arnold asli adalah 400 dollar AS per jam. Foto dibuat pada 29 Oktober 2003



#Detasemen 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya melakukan simulasi pengamanan dari ancaman teroris di Gereja St Yohanes Penginjil, Jakarta, Jumat (22/12/2006). Simulasi tersebut merupakan bagian dari persiapan pengamanan Natal dan Tahun Baru 2007.



#Wanita di Bali senang membawa apa pun dengna kepala mereka, bahkan saat naik sepeda motor sekalipun.




#Pemimpin Palestina Yasser Arafat difoto pada 15 September 2003

Kamis, 25 Oktober 2018

Kiat Memanfaatkan “Flare”

YANG disebut flare pada lingkup fotografi adalah cahaya “liar” yang ikut memengaruhi hasil foto kita, tampak di foto sebagai bekas berkas putih baik dalam bentuk garis maupun bidang. Flare muncul akibat cahaya kuat yagn datangnya nyaris menghadap kamera.
Flare bisa dianggap gangguan sehingga ada banyak upaya menanggulanginya, misalnya dengan pemasangan lens hood atau sejenis kerudung di depan lenasa. Namun, pada suatu keadaan tertentu, flare sama sekali tidak bisa dilawan manakala kita memakai lensa superlebar, misalnya 10 mm sampai dengan 20 mm.
Foto-foto di halaman ini semuanay menadnung flare yang jsutru menjadi elemn penting dair foto-foto tersebut. Flare adalah pembeda antara imaji nyata dan imaji fotografis. Banyak film-film bioskop juga memanfaatkan flare untuk efek-efek artistic.
Mata manusia sebenarnya sama dengan kamera, artinya kita juga akan menangkap flare kalau kondisinya sama. Namun, saat flare terjadi di mata kita, manusia normal akan menutup mata karena cahaya kuat selalu menyakitkan. Akibatnya, mata normal hampir tak pernah menyaksikan flare.

Atur penempatan flare sedemikian rupa sehingga menjadi elemen foto yang menguatkan. Pilih posisi flare agar harmonis dengan komposisi fotonya.

Sabtu, 20 Oktober 2018

Memahami Fotografi dengan FPS Tinggi

SAAT perusahaan Olympus mengeluarkan kamera EM1 Mark 2 tipe mirrorless (tanpa cermin) pada awal November lalu, banyak orang bertanya-tanya untuk apa kemampuan rekam dengan kecepatan bingkai yang begitu tinggi. Seperti diberitakan, kamera itu mampu merekam dengan kecepatan bingkai sampai 60 bingkai per detik alias 60 FPS (frames per seconds).
Saat ini, kamera DSLR (digital single lens reflex) hanya mampu merekam gambar sampai 14 FPS. Adanya cermin yang berayun pada DSLR menyulitkan kamera tipe ini untuk bisa merekam dengan FPS lebih tinggi lagi. Sementara itu, rata-rata kamera mirrorless sudah bisa merekam foto dengan kecepatan sampai sekitar 2-fps. Tetapi, sampai 60 fps, sungguh orang lalu bertanya: untuk apa?
Merekam proses
Sesungguhnya, kebutuhan akan merekam dengan fps sangat tinggi sudah dibutuhkan orang sejak dahulu. Kebutuhan ini umumnya menyangkut proses penelitian akan sesuatu yang bergerak. Dalam bidang olahraga, analisis dengan proses stroboskopik, yaitu pemotretran dengan pencahayaan khusus, sering dilakukan untuk mengamati kesalahan-kesalahan gerak atlet.
Di halaman ini terpasang sebuah foto stroboskopik tentang gerakan seorang pemain golf dalam memukul bolanya. Foto jenis inilah yang disebut foto stroboskopik yang merekam aneka gerakan dalam atu bingkai melalui pencahayaan yang berkali-kali dalam waktu singkat.
Sesungguhnya, kemampuan rekam Olympus EM1 Mark 2 itu sangat berguna untuk mengamati gerak seperti yang saya coba saat memotret kejuaraan berkuda ekuisterian cinta Indonesia Terbuka di kompleks berkuda Adria Pratama Mulya, Cikupa, Banten, akhir pekan lalu.
Gerakan kuda melompat dari mulai meninggalkan tanah sampai menjejak tanah lagi terekam dalam 80 bingkai foto. Dari rangkaian foto-foto itu terlihat bagian kaki kuda mana yang menyentuh palang lompatnya.
Dulu orang memakai video untuk merekam gerak, tetapi video yang dibekukan umumnya merupaka nfoto yang tidak bermutu tinggi. Dalam kasus pemotretan fps tinggi ini, tiap bingkai fotonya merupakan foto resolusi tinggi alias berukuran 5.184 x 3.888 piksel alias sekitar 20 megapiksel.
Keunggulan pemotretan dengan fps tinggi seperti ini adalah tiap gerakannya ada dalam bingkai tersendiri, tidak menumpuk seperti pada foto stroboskopik. Selain itu, pemotretan fps tinggi juga tidak memerlukan pencahayaan khusus, bahkan bisa berlangsung di tempat terbuka dan terang.
[*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 15 November 2016 ]

DESCRIPTION: Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya
KEYWORDS: FPS,frame per second.
Excerpt : Fotografi buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS : Olympus EM1 Mark 2,foto stroboskopik,

# Sebanyak 80 foto berurutan sejak kuda mulai melompat sampai mendarat lagi di tanah, termasuk jatuhnya palang halangan, terekam dalam foto-foto yang masing-masing 20 MP.
#Foto terakhir dari rangkaian pemotretan kuda melompat berukuran 20 Mp.

#Sebuah foto stroboskopik merekam gerakan seorang pemain golf dalam satu bingkai foto. Guna foto jenis ini adalah untuk menganalisis gerakan pemain golf tersbut.

Senin, 15 Oktober 2018

Fotografi Satwa yang Selalu Penuh Kejutan

SATWA  liar tidak bisa diatur untuk difoto. Ini adalah hal yang harus dimengerti orang yang berniat utnuk memotret satwa di alamnya, atau orang yang sekadar ingin menikmati sebuah foto satwa.
Dengan demikian, sebuah foto satwa menjadi menari kalau imajinasi orang yang melihat foto itu terbangun, entah berdasar pengalaman pribadi tentang sebuah hal, entah karena angannya terasosiasi dengan sebuah kalimat.
Roto pemenang kedua Kategori Pelajar pada Lombo Foto Satwa International 2016 yang digagas Taman Safari Indonesia adalah contohnya. Siapapun yang melihat foto karya Muhamad Bilal Wibisonoa tersebut akan tertawa, setidaknya tersenyum meliaht adegan “saling pandang” kdua satwa. Apalagi setelah mengetahui bahwa judul foto itua adalah “Fish to Face” yang mengingatkan kita pada ujaran “Face to face” bukan?
Demikian pula saat kita melihat foto pemenang pertama Kategori Pelajar karya Mufthi Noorcha Barzanzi. Penamppilan seekor anak orangutan (Pongo abelii) yang mulutnya “monyong” itu menjadi lengkap kelucuannya saat terbaca judul foto tersebut “Mau cucu” yang merupakan versi bahasa anak keicl atas “minta minum susu”.
Orang sering bertanya, foto satwa yang bagus itu yang seperti apa?
Dan, jawaban atas pertanyaan itu selalu sama: foto bagus adalah foto yang sesuai dengan tujuan pembuatan foto tersebut. Foto menu yang bagus adalah foto yang membuat orang ingin memakan makanan yang terpotret. Foto interior yang bagus adalah foto yang membuat orang ingin masuk ke ruangan yang terpotret tersebut.
Sedangkan untuk foto satwa, penjabaran jawaban terbagi menjadi beberapa pemikiran. Foto satwa yang bagus secara ilmiah adalah foto yang menggambarkan satwa itu seutuhnya: bentuknya, warna bulunya, detail kulit, dan juga detail bagian-bagian tubuhnya yang lain. Namun, foto satwa yang bagus untuk kategori non-ilmiah adalah foto yang bisa membangun imajinasi tadi.
Kunci memotret satwa baik ilmiah maupun tidak hanya ada satu: kesabaran menunggu adegan. Namun, yang tidak bole hjgua dilupakan adalah, memotret satwa sering tergantung keberuntungan kita juga karena dalam genre fotografi ini kejutan sungguh selalu diharapkan.
[*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 15 November 2016 ]

DESCRIPTION: Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya
KEYWORDS: fotografi satwa,penuh kejutan
Excerpt : Fotografi buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS :

# Juara I Kategori Umum: “Keluarga Besar”-John Hartono
#Juara II Kategori Umum: “Dara Laut Kecil”-Adi Sugiharto

#Juara 1 Kategori Pelajar: Mau “Cucu”-Mufthi Noorcha Barzanzi

Rabu, 10 Oktober 2018

CALIBRE, Pameran Foto Era Digital

KLINIK FOTOGRAFI  Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY

SEJAK fotografi memasuki era digital murni pada tahun 2000, pelan tapi pasti orang makin jarang mencetak fotonya maka, foto keluarga, foto diri, dan foto-foto lain pun jadi biasa disaksikan di layar computer, layar telepon genggam, atau juga bingkai foto digital. Satu per satu perusahaan cetak foto meniggalkan bisnisnya.
Namun, dalam tataran seni, foot dalam bentuk cetak tidak akan pernah mati karena pada satu titik orang buuth “betemu”, butuh interaksi nyata, dan butuh “rasa bahwa sebuah foto ada”. Ini mirip dengna feomena film yang sempat mematikan gedung bioskop karena maraknya film digital dalam sekeping cakram DVD/Blue Ray, tetapi kini orang mulai kembali ke gedung bioskop juga.
Sebuah pameran foto bertajuk “Calibre” yang  berlangsung di Ruman MAEN di bilangan Jakpus, Jakarta, menunjukkan dengan jelas penggabungan dunia digital dan dunia cetak. Empat fotografer berpameran di sana, yaitu Fanny Octavianus, Jay Subyakto, John Suryaatmadja, dan Oscar Motuloh. Mereka berkolaborasi dengan pakar digital Howard Brawidaja dan Gunawan Widjaya.
Dalam pameran foto Calibre, materi tersaji dalam cetakan dan digital, tanpa tumpang-tindih. Pengunjung dianjurkan mengunduh dahulu perangkat lunak Calibre Indonesia, baik di Android maupun di iOS. Dan, dengan perangkat lunak itu, data tentang sebuah foto dan juga foto lain yang “mendampingi” sebuah foto yang cetakannya terpasang mudah diakses pengunjung.
Pembelian sebuah karya dalam cetakan juga bisa dilakukan dari perangkat lunak tersebut. Hal ini membuat sebuah cetakan yang dibeli penunjung otomatis terdata, mendapat nomor seri, sekaligus mencegah terjadinya cetakan tidak resmi alias bajakan. Fotografer dan pembeli karys sekaligus terlindungi.
Caliber mungkin bukan yang pertama dalam pemakaian QR code (quic response code) dala msebuah pameran foto. Pameran foto dalam rangka Kemerdekaan RI ke-10 tahun 2015 sudah memakainya. Tetapi, dari segi system kerja dan fakta penjualan karya, Calibre memang terdepan.
Diharapkan dengan rintisan Calibre ini, pameran fotografi di Indonesia marak lagi dan penjualan karya foto menjadi menarik dan terdata dengan baik. [*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 11 Oktober 2016 ]

DESCRIPTION: untuk bisa memahami tulisan ini, mohon jangan membaca teks foto-foto yang ada sebelum membaca tulisannya.
KEYWORDS: foto digital,pameran foto,era digital.
Excerpt : Fotografi buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS :  Calibre,QR code,karya foto.

#Foto karya  Jay Subyakto dalam aplikasi Calibre Indonesia dan keternagn pemikiran pemotretnya.
#Foto Karya  Oscar Motuloh yang dilihat dari aplikasi Calibre Indonesia beserta opsi untuk membelinya.
# Foto Karya  Fanny Octavianus dalam serial berjudul “Noktah Jaman” dan QR Code di sampingnya.
#Detail  Quick Response (QR) Code pada foto karya John Suryaatmadja. Dnegna aplikasi Calibre Indonesia, segala keterangan dan foto lain dari seri “Almost Heaven” ini bisa dilihat di telepon cerdas.


Senin, 01 Oktober 2018

Memahami Kerusakan Foto

SEPERTI benda apapun di dunia, sebuah foto baik cetak maupun dalam bentuk file digital dan film akan mengalami kerusakan sejalan dengan waktu. Dalam bentuk fisik, yaitu cetakan, sebuah foto terus mengalami penurunan mutu warna dan ketajaman akibat udara sekitar dan juga cahaya ultraviolet (uv). Makin sedikit terkena cahaya uv (banyak di sinar matahari), makin awet sebuah foto cetakan. Itu sebaiknya foto yang dipasang di dinding diusahakan jangan terkena cahaya matahari langsung.
Dalma bentuk bahan foto, yaitu negative film dan juga file digital, kerusakan bisa terjadi dalam banyak segi. Kalau Anda masih memiliki banyak negative film yang belum dicetak, sebaiknya segera dilakukan pemindaian untuk menjadikan negate film anda itu menjadi berkas-berkas foto digital. Kini cukup banyak pemindai yang bisa memindai negative film atau slide dengan baik dengan harga memadai.
Jamur dan debu
Selain luntur, sebuah negative film yang umurnya di atas 10 tahu numumnya juga mulai terpapar jamur dan juga ditempeli debu permanen. Sebaiknya Adna menyimpan negative film di tempat yagn gelap dan kedap udara. Cahaya lampu, apalagi cahaya matahari, bisa melunturkan warna pada negative. Ditambah proses buruk pada waktu film itu dicuci, kerusakan warna bisa makin parah.
Menghilangkan noda debu dan jamur, juga kerusakan warna, bisa dilakukan dengan perangkat lunak, seperti Phtoshop. Untuk masalah debu dan jamur bisa digunakan clone stamp atau healing tool. Sementara kerusakan/pergeseran warna bia dikoreks idengan auto color dan color balance. Pelajari dulu menu dasar pengeditan dan perangkat lunak yang Anda pakai.
Meski demikian, banyak kerusakan warna pada negative yang tidak bvisa diperbaiki lagi karena kerusakannya sangat tidak terpola. Satu warna terkoreksi, warna lain bergeser, dan seterusnya. Atau juga, kerusakan warna tidak merata ke seluruh permukaan foto.
“File” digital
Sementara itu, berkas foto digital sesungguhnya sampai kapan pun tidak akan mengalami perubahan baik warna maupun hal lain, selama media penyimpannya tidak mengalami kerusakan. Kerusakna foto-foto digital umumnya terjadi karena pemilinya abai tau lupa memperbarui penyimpannannya.
Sebuah compact disk, digital versatile disc (dvd), flash disk, ataupun hard disk ada umurnya. Rata-rata hard disck berumur sekitar enam tahun. Sementara umur cakram dvd kadang lebih pendek. Biasakan memperbaharui media penyimpanan anda terutam apda foto-foto yang penting.d alam jangka waktu tertentu, kopi ulang berkas foto-foto Anda ke media penyimpanan yang baru.
Dalam kasus foto digital, kerusakan media penyimpanan umumnya membuat foto hilang selamanya.
[*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 6 Desember 2016 ]

DESCRIPTION: Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya
KEYWORDS: kerusakan foto,file digital,file film,foto cetak,negatif film,slide,
Excerpt :
TAGS : memahami kerusakan foto,berkas-berkas foto digital,clone stamp,healing tool,auto color,color balance,

# Kerusakan negative film yang parah. Selai nwarna sudah berubah tanpa pola, jamur film dan debu juga mengotori seluruh permukaan filmnya.
#Kerusakan film yang terpusat pada pergeseran warna akibat proses pencucian film yang tidak baik terliaht pada warna langitnya.
#Kerusakan foto digital yang sangat parah akibat media penyimpannya rusak. Hard disk sebaiknya diganti setiap lima tahun.
#Kerusakan awal foto digital akibat bad sector pada media penyimpannya.

#Contoh pergeseran warna dari negative film yang pola pergeserannya teratur. Kerusakan jenis imi mudah dikoreksi dengang perangkat lunak setelah filmnya dipindai.

Sabtu, 29 September 2018

Antara “Shift” Optik dan “Shift” Digital

KALAU kita bediri di tanah lalu memotret sebuah bangunan tinggi, bangunan itu tentu terekam mengecil di bagian atasnya. Dalam kondisi biasa, foto itu tentu tidak menimbulkan masalah apa-apa.
Meski demikian, manakala foto bangunan itu diperlukan untuk mengiklankan sang banunan, bentuk mengerucut sepeti itu tentu tidak menarik. Harus ada upaya agar sang bangunan terekam tegak seperti layaknya sebuah gambar terknik karya seorang arsitek.
Kadang, upaya agar mendapatkan foto bangunan yang betul-betul tegak bisa dilakukan dengan cara memotret di sebuah tempat yang tingginya kira-kira setengah sanga banunan yang akan dipotret. Namun, kondisi seperti itu belum bisa didapat, seperti di Jakarta yang tidak mudah memilih lokasi pemotretan.
Upaya agar sebuah bangunan bisa terpotret tegak ada dua cara. Cara pertama dalah memakai lensa khusus yang disebut lensa perspective correction (PC) yang digungsikan pada mode “shift” (geser). Dengan mode ini, bangunan yang dipotret akan tetap tegak walau pemotretan dari arah bawah.
Cara kedua untuk membuat bangunan tampak tegak adalah koreksi dengan perangkat lunak, seperti Photoshop. Cara kedua ini jauh lebih murah daripa cara pertama kalau perangkat lunaknya memang sudah dimiliki. Sebuah lensa PC harganya beberapa kali lipat lensa biasa.
Meski demikian, cara dengan perangkat lunak punya kelemahan, yaitu bagian foto yang “direnggangkan” dalam kenyataannya memang betul-betul jadi renggang dalam kerapatan pikselnya. Dalam cetakan besar, kerenggangan itu kadang tampak.
Namun, secara umum pemakaian fungsi “shift” dengan cara digital jauh lebih praktis, murah, dan terkontrol. [*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 13 Desember 2016 ]

DESCRIPTION: Lensa perspective correction atau lensa PC adalah lensa yang kedudukan lensa-lensanya bisa digeser untuk mendapatkan efek perspektif tertentu.
KEYWORDS: shift optic,shift digital.
Excerpt : Pemotretan memakai lensa biasa pada sebuah bangunan tinggi dengan posisi fotografer rendah akan menghasilkan gedugn yang mengecil ke atas. Kondisi ini bisa dikoreksi dengan pemakaian lensa khusus.
TAGS : perspective correction lens.
# Pemotretan memakai lensa dengan korektor perspektif (lensa perspective correction/PC).
#Foto koreksi dari pemotretan normal memakai perangkat lunak.


Minggu, 09 September 2018

AGUS MURTADO yang Tidak Mudah Menyerah

Klinik Fotografi
DALAM dunia foto jurnalistik dikenal adanya esai foto, termasuk untuk memprofilkan seseorang. Ardianto, seorang praktisi multimedia, suatu hari melihat perjuangan seorang pria yang kehilangan kedua kaki dan satu tangan dalam menghidupi keluarganya.
Pria itu, yaitu Agus Murtado , dilihat Ardianto setiap hari di Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta. Ardianto lalu mengikuti Agus, memotretnya dalam beberapa kali pertemuan, sehingga  terciptalah sebuah esai foto tentang kehidupan  Agus Murtado ini.
Esai asli terdiri atas belasan foto dan menjadi juara pertama kategori umum dalam lomba foto bertema “Budi Luhur” yang diadakan Univesitas Budi Luhur bulan lalu. Di halaman ini termuat beberapa foto inti yang barangkali bisa menjelaskan kehidupan Agus Murtado.
Berikut pengantar esai foto yang dibuat Ardianto.
Kecelakaan yang dia alami sekitar 20 tahun lalu telah merenggut tangan dan kedua kakinya. Peristiwa tersebut semapt membuatnya trauma dan putus asa. Namun, dukungan dan semangat dari keluargalah yang mampu membuatnya bangkit kembali.
Dia adalah Agus Murtado, Pria berusia 39 tahun ini adalah seorang difabel. Namun, dia justru menolak dikasihani. Ayah dua anak tersebut bekerja dengan membuka jasaservis elektronik di Jalan Giban, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tak jauh dari Stasiun Kebayoran Lama.
Pahit manis telah ia rasakan sejak ia membuka usaha servis pada 2006, yaitu banyak orang yang merendahkan walau tidak sedikit juga yang salut dan mengapresiasi usahanya. Pernah suatu kali ketika ia hendak berangkat kerja ada seorang ibu yang memberinya sejumlah uang, namun Agus menolak dengan halus. Ia menjelaskan bahwa ia sedang berangkat kerja, bukan mengemis.
Tidak bisa dimungkiri, dalam beberapa kesempatan, Agus masih menyesali keadaan dirinya. Anmun, semua itu luruh ketika ia melihat istri, anak-anak, dan keluarganya menintai serta mendukungnya dengan tulus tanpa memandang kekurangannya. Seminggu sekali Agus pulang ke rumahnya di Tigaraksa, Tangerang Banten, untuk bertemu dan melepas rindu kepada istri dan kedua putrinya.
[Sumber : Kompas, Selasa, 19 Juli 2016 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]
#Dengan kedua kaki palsu, Agus Murtado tetap hidup normal dan berbagai perjalanannya.
#Kedua kaki Agus Murtado adalah kaki palsu
#Melayani Pelanggan
#Dengan ruang kerja sempit dan segala keterbatasan fisik, Agus Murtado bekerja keras mencari nafkah.
#Hanya dengan tangan kanan yang berfungsi normal, Agus Murtado memanfaatkan mulut sebagai pengganti tangan kirinya.

DESCRIPTION: DALAM dunia foto jurnalistik dikenal adanya esai foto, termasuk untuk memprofilkan seseorang.
KEYWORDS: jurnalistik,dunia foto,esai foto.

TAGS :  Agus Murtado.

Rabu, 08 Agustus 2018

Buku Foto “Saya Indonesia” yang Bangga Indonesia

Klinik Fotografi
LAGI, sebuah foto yang menggambarkan kebanggaan pada Indonesia telah terbit. Indonesia memang tidak habis-habisnya untuk dijelajahi, dipelajari, dan dipotret.
Sebenarnya buku ini direncanakan terbit dua tahun yang lalu. Saat itu pada tahun 2014, fotografer senior Don Hasman menggagas  sebuah buku koleksi foot dari 7 fotografer wanita dan 7 fotografer pria Indonesia untuk dikemas dalam sebuah buku yang akan diserahkan kepada presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Maksud buku itu adalah sebagai “titipan”, dalam bentuk gambar , tentang potensi-potensi yang ada diberbagai wilayah di Indonesia.
Para fotografer yang dipilih Don Hasman terdiri dari fotografer lintas domisili, usia, latar belakang, dan profesi sebagai wujud persaudaraan dalam keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya dipilih judul: Saya Indonesia.
Berbagai kendala muncul dalam pembuatan buku tersebut, sampai akhirnya Budi Karya Sumadi (saat ini Menteri Perhubungan) yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Angkasa Pura II membantu dalam beberapa sisi, termasuk menyediakan beberapa bagian bandara sebagai tempat berpameran saat buku ini diluncurkan.
Buku Saya Indonesia juga sempat direncanakan diluncurkan bersamaan dengan peresmian Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta bulan lalu. Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta sendiri dipakai secara resmi mulai hari ini, dan secara tidak resmi pula buku ini diluncurkan secara bersamaan.
Pameran sebagian foto-foto dari buku ini akan berlangsung di Terminal 3 (lama) Bandara Soekarno-Hatta mulai 18 Agustus mendatang pada bagian umum, sehingga siapapun tanpa boarding pass bisa menyaksikannya. [sumber : Kompas, Selasa, 9 Agustus 2016 |Tips & Catatan |Arbain Rambey]


DESCRIPTION: buku foto saya Indonesia yang bangga Indonesia!.
KEYWORDS: buku foto.
TAGS : saya Indonesia,bangga Indonesia.
Bakar Batu, cara memasak di sebagian masyarakat di Papua
Perempuan di Lumban Suhi-suhi (P.Samosir)
Keindahan pantai (P.Belitung)

Lahan pertanian di Sumatera Barat

Sabtu, 07 Juli 2018

Antara “Shift” Optik dan “Shift” Digital

KLINIK FOTOGRAFI
Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY
KALAU kita bediri di tanah lalu memotret sebuah bangunan tinggi, bangunan itu tentu terekam mengecil di bagian atasnya. Dalam kondisi biasa, foto itu tentu tidak menimbulkan masalah apa-apa.
Meski demikian, manakala foto bangunan itu diperlukan untuk mengiklankan sang banunan, bentuk mengerucut sepeti itu tentu tidak menarik. Harus ada upaya agar sang bangunan terekam tegak seperti layaknya sebuah gambar terknik karya seorang arsitek.
Kadang, upaya agar mendapatkan foto bangunan yang betul-betul tegak bisa dilakukan dengan cara memotret di sebuah tempat yang tingginya kira-kira setengah sanga banunan yang akan dipotret. Namun, kondisi seperti itu belum bisa didapat, seperti di Jakarta yang tidak mudah memilih lokasi pemotretan.
Upaya agar sebuah bangunan bisa terpotret tegak ada dua cara. Cara pertama dalah memakai lensa khusus yang disebut lensa perspective correction (PC) yang digungsikan pada mode “shift” (geser). Dengan mode ini, bangunan yang dipotret akan tetap tegak walau pemotretan dari arah bawah.
Cara kedua untuk membuat bangunan tampak tegak adalah koreksi dengan perangkat lunak, seperti Photoshop. Cara kedua ini jauh lebih murah daripa cara pertama kalau perangkat lunaknya memang sudah dimiliki. Sebuah lensa PC harganya beberapa kali lipat lensa biasa.
Meski demikian, cara dengan perangkat lunak punya kelemahan, yaitu bagian foto yang “direnggangkan” dalam kenyataannya memang betul-betul jadi renggang dalam kerapatan pikselnya. Dalam cetakan besar, kerenggangan itu kadang tampak.
Namun, secara umum pemakaian fungsi “shift” dengan cara digital jauh lebih praktis, murah, dan terkontrol. [*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 13 Desember 2016 ]

DESCRIPTION: Lensa perspective correction atau lensa PC adalah lensa yang kedudukan lensa-lensanya bisa digeser untuk mendapatkan efek perspektif tertentu.
KEYWORDS: shift optic,shift digital.
Excerpt : Pemotretan memakai lensa biasa pada sebuah bangunan tinggi dengan posisi fotografer rendah akan menghasilkan gedugn yang mengecil ke atas. Kondisi ini bisa dikoreksi dengan pemakaian lensa khusus.
TAGS : perspective correction lens.

# Pemotretan memakai lensa dengan korektor perspektif (lensa perspective correction/PC).
#Foto koreksi dari pemotretan normal memakai perangkat lunak.


Rabu, 06 Juni 2018

MEMAHAMI ERGONOMIKA KAMERA

KLINIK FOTOGRAFI
Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY
WAJAH mengalami evolusi berkali-kali, dari benda berbentuk kotak besar sampai menjadi seukuran korek api dalam wujud kamera aksi (action cam). Semua bentuk dan ukuran kamera punya fugsi masing-masing, tetapi kalau kita berbicara tentang kamera yang harus  dibawa dan dipegang saat dipakai, mau tidak mau kita harus berbicara tentang ergonomikanya.
Ergonomika adalah ilmu atentang pemahaman akan interaksi manusia dengna benda yang dipakainya, menyangkut kenyamanan dan kemudahan pemakaiannya.
Dalam hal kamera, bentuk yag akhirnya mengerucut pada kamera yang dibawa-bawa adalah sebuah kotak dengan tombol di kanan dan sebuah tonjolan di atasya untuk mengintip. Adanya tombol di kanan ini yang selalu menjadi bahan pertanyaan: apakah tidak ada kamera denga tombol di kiri untuk orang kidal?
Mobil mengenal kemudi kiri dan kanan, sementara banyak benda memikirkan pula untuk dipakai khuus orag kidal. Namun, ergonomika kamera “memutuska” untuk hanya membaut kamera utnuk dipakai tangan kanan. Mobil kemudi kiri tentu menylitkan bahkan membahayakan kalau dipakai di negara yang lalu lintasya  di lajur kanan, tetapi orang kidal dan tidak kidal tentu sama-sama tidak akan terlalu mengalami kesulitan untuk memakai kamera dengan tombol kanan saja. Kalalu kamera harus dibuat dengna dua macam pemikiran tombol (tombol kiri dan kanan), harga kamera tentu jadi lebih mahal lagi.
Evolusi kamera besar terjadi saat system berpidah dari system analog menjadi digital. Pada awalnya kamera tidak berubah ukuran dan bentuk, semata hanay mengubah system saja. Lensa-lensa dari sitem lama tetap dipakai di system digital. Kamera dari SLR (single lense reflex) hanya berpindah menjadi DSLR dengna menambahkan huruf D (digital) saja.
Di zaman film, kamera tidak bisa mengecil lagi karena ukuran film sudah standar. Namun, di zaman digital akhirnya disadari bahwa cermin reflex pada kamera SLR bisa dibuang. Dan, pembuangan cermin reflex yang menghasilkan kamera nircermin (mirorless) ini akhirnya juga merevolusi ukuran kamera, seperti yang dilakukan Olympus dan Lumix pada tahun 2009. Satu per satu produsen kamera membuat kamera mirrorless yang mungil, seperti Nikon dan Pentax (yang ekstrem mungil).
Dalam evolusi ukura ini, muncul eveolusi lagi, yaiut kmaera foto mulai mampu merekam video sekaligus. Namun, di sinilah masalah ergonomika besar mucul. Merekam gambar diam (foto) tentu membutuhkan ergonomika berbeda dengna merekam gambar bergerak (video). Bentuk maera mulai diutak-atik lagi oleh para produser.
Perusahaan Canon dan Sony, misalnya, jelas memisahkan bentuk kamera foto yang bisa membuat video tetap berbentuk kamera foto, dan kamera video yang bisa memfoto dengn bentuk untuk disandang atau digenggam (bentuk lebih memanjang).
Evolusi ukuran juga melahirkan kamera aksi yang bisa sangat mungil yang tentu sangat tidak nyaman untuk dipakai apa adanya.
Saat ini evolusi bentuk dan ukuran kamera mulai menemukan titik endap. Kamera mulai mengerucut menjadi mirrorless yang bisa membuat video, dan ukurannya mulai agak membesar. Ukuran kamera mirrorless lam terbukti terlalu mungil sehingga tidak nyaman untuk dipakai. Saat ini kamera yang umum adalah kamera mirrorless dengan ukuran antara DSLR dan mirrorless awal, seeprti pada Olympus seri EM1, pada Fuji generasi baru, dan juga pada Sony tipe A7 beserta turunannya.
Untuk dipakai memvideo, kamera mirrorless ini akna disertai peralatan bantu yang juga sudah mulai mudah didapatkan di mana-mana. Sedangkan kamera aksi juga mulai mendapat alat bantu untuk dipakai seperti memegang pistol.
Ergonomika kamera mungkin belum akan berhenti pada bentuk yang ada sekarang. Kemajuan teknologi selalu terjadi, dan itu selalu menambahkan kemampuan baru pada sebuah benda. Di masa depan, mungkin kamera juga bisa dipakai untuk mmindai tubuh bagi tes kesehatan. Dan, dengan kemampuan demikian, bentk kamera mungkin berubha juga walau sedikit. [*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 25 Oktober 2016 ]

DESCRIPTION: untuk bisa memahami tulisan ini, mohon jangan membaca teks foto-foto yang ada sebelum membaca tulisannya.
KEYWORDS: ergonomika kamera,mirrorless camera.
Excerpt : Definisi foto yang berbicara adalah foto yang mudah dipahami, tetapi informasinya lebih dari biasa. Kalau sekadar mudah dipahami, misalnya foto sebuah balpen tergeletak di meja, itu tentu bukanlah foto yang berbicara!.
TAGS :  mirrorless kamera,Olympus EM1,Sony A7,fuji.

#Evolusi ukuran kamera digital, kamera digital ukuran seperti zaman film, kamera digital mirorless awal dan kamera digital mirorless generasi terbaru.
#Bentuk  awal kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) yang merupaka nadapatsi persis dari kamera film generasi sebelumnya
#Kamera aksi (action cam) yang terlalu mungil akhirnya diberi pegangan yang membuat pemakainya seakan memakai pistol
#Sampai menjelang tahun 2010, kamera digital belum bisa untuk merekam video sehingga harus memakai kamera khusus video utnuk merekam gambar bergerak.
#Kamera rusia yang dirancang untuk dipakai sperti senapan. Ada orang-orang tertentu yang terbiasa dengan cara membidik demikan misalnya tentara.


Sabtu, 05 Mei 2018

“Harga” Wajah pada Foto Jurnalistik

KLINIK FOTOGRAFI
Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY
WAJAH Kanselir Jerman Angela Markel yang terpotong pada harian Kompas edisi 21 September lalu, juga wajah beberaap kepala negara di kompas edisi 23 September lalu, memancing beberapa pertanyaan. Mengapa wajah mereka tidak ditampilkan utuh? Mengapa dipotong seperti itu?
Juga, mengapa wajah Angela Merkel ditampilkan dalam format landscape (mendatar), bukan format portrait selayaknya format wajah manusia normal? Dalam fotografi umum, format foto ada dua, yaitu landscape alias mendatar yang umumnya untuk foto-foto pemandangan serta format portrait alias vertical yang umunya untuk foto wajah manusia (potret).
“Human interest”, potret, dan “headshot”.
Dalam foto jurnalistik, ada beberapa macam foto tentang manusia. Yang paling populer adalah kategori human interest alias foto tentang manusia dan kegiatannya. Selain human interest, ada pula kategori potret (portrait), yaitu profil seorang/sekelompok manusia. Beda human interest dan potret adalah pada kegiatannya. Pada human interest, sang terportret berinteraksi dengan orang lain atau sesuatu yang sedang dilakukannya. sedangkan pada potret, interaksi sang terpotret hanya pada pemotret.
Kategori potret punya subkategori, yaitu headshot alias foto semata wajah. Headshot umumnya dipasang jsutru untuk orang yang wajahnya yang sudah dikenal, sebagai penegasan sebuah berita, atau untuk memberikan penekanan bahwa berita yang disertai sebuah headshot adalah berita penting.
Dengan kondisi demikian, sebuah headshot kadang bisa berukuran sangat kecil. Bisa dibayangkan kalau foto headshot yang berukuran sangat kecil masih harus menampilkan kepala manusia utuh sampai ke rambut-rambutnya. Wajah yang tersisa menjadi sangat sedikti bukan?
Dalam dunia foto jurnalistik, wajah seorang manusia diwakili area dari sedikit di atas alis (batas atas) sampai sedikit di bawah bibir (batas bawah).
Di luar area ini, biasanya bisa dibuang, seperti headshot Krisdayanti dan Maia di halaman ini yang memotong dengna tujuan artistic semata. [*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 27September 2016 ]

DESCRIPTION: untuk bisa memahami tulisan ini, mohon jangan membaca teks foto-foto yang ada sebelum membaca tulisannya.
KEYWORDS: format portrait,format landscape,potret,headshot,foto jurnalistik.
Excerpt : Definisi foto yang berbicara adalah foto yang mudah dipahami, tetapi informasinya leibh dari biasa. Kalau sekadar mudah dipahami, misalnya foto sebuah pena tergeletak di meja, itu tentu bukanlah foto yang berbicara!.
TAGS :  foto headshot,foto jurnalistik.

#Petani membuang susu hasil peternakannya di Ciney, Belgia, rabu (19/9/2009). Total susu yang dibuang 3 juta liter sebagai protes atas harga jual susu yang dipatok pemerintahnya.
#Ester Yustita(22)  tetap bersemangat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislative meskipun harus menggunakan kakinya untuk mencontreng dan memasukkan surat suara di TPS 83 Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/4/2009).
#Pembonceng  nekat duduk di atas kardus yang diikat ke sadel sepeda motor di Jalan Cipondoh, Tangerang, Selasa (29/12/2009)
#Fotografer menyiapkan kameranya untuk pemotretan pas foto di sebuah tempat di Kabul, Afganisstan, Minggu (21/9/2003). Pemerintahan setempat mewajibkan wanita memakai burka.


Rabu, 04 April 2018

Memahami Makro lensa Lebar

Klinik Fotografi
Tips & Catatan |Arbain Rambey
SELAMA ini fotografi makro selalu identik dengna pemakaian lensa tele, atau lensa yang panjang fokalnya lebih dari 50mm. lensa makro terpendek yang ada adalah lensa 55mm, sementara yang terpnajnga ada yang sampai sekitar 150 mm. Dan, guyonan yang sering mengemuka pada dunia fotofrafi makro adalah, “Makro pakai lensa lebar, itu baru gagoan..”.
Kini guyonan itu tampaknya harus berakhir. Saya menemukan sebuah lensa buatan RRT yagn panjagn fokalnya 15mm (fixed lens), tetapi menyandang predikat sebagai lensa makro.
Dengan merek yang sama sekali baru tedengar di jagat fotografi, Laowa, lensa 15 milimeter makro ini menimbulkan tanda Tanya. “Mengapa baru sekarang ada? Apakah secara optic dulu belum memungkinkan? Apakah makro lensa lebar ini memagn bisa ada atau hanay taktik dagang semata?”
Satu hal yang pasti adalah, lensa yang saya coba in iadalah untuk format “full frame”, luas untuk sensor berukurang 36 mm x 24 mm. walau bisa dipakai untuk sensor APSC, percobaan yang saya lakukan adalah pada kamera D4S yang full frame.
Benda yang saya potret secara makro adalah sebuah patung manineko setinggai sekita 2 cm, dan sebagai pembanding saya juga memotret memakai lensa makro 135 mm ditambah sebuah makro extender.
Percobaan saya membuktikan bahwa lensa lebar (bahkan sangat lebar) sangat mungkin menjadi lensa makro, bahkan dengan keunggulan “depth of field” (DOF)-nya cukup dalam. Memotret makro dengnal ensa lebar jauh lebih mudah daripada memotret makro memakai lensa tele yang DOF-nya tipis. Perhatikan perbandingan dua pemotretan yang saya lakukan.
Pertanyaan mendasar lain yang cukup penting adalah, “Bagaimana distorsinya?””
Lensa super lebar makro yang saya pakai terbukti tidak memiliki distorsi berarti say saya pakai utnuk memotret makro 1:1. Huruf Koran yagn saya potret reltif tetap lurus. Namun, pada pemotretan benda tiga dimensi, distorsi tentu terjadi akbiat sudut pandang yang terjadi. Makro memakai tele tentu berjarak terhadap subyeknya, Sementara makro dengna lensa lear tentu mendekati subyeknya dengan sangat dekat, bahkan dalam kasus saya di atas sampai sekitar 1 cm saja.
[*/Tukang-Jalan.com from ARB]

 [Sumber : Kompas, Selasa, 13 September 2016 ]

DESCRIPTION:.
KEYWORDS: fotografi makro,lensa lebar,full frame,macro extender,depth of field,fixed lens.
TAGS : full frame D4S,Laowa 15mm makro,
#Lensa lebar makro pertama di dunia, Laowa 15mm, terpasang pada kamera full frame D4S
#Pemotretan Makro 1:1 dengan Laowa 15 mm pada kamera full frame menunjukkan distorsi yang minim walau lensanya adalah lensa sangat lebar.
#Pemotretan Makro memakai lensa 105 mm dilengkapi macro extender pada kamera full frame menampilkan depth of field yang sangat dangkal.
#Pemotretan Makro memakai Laowa 15mm makro memakai kamera full frame D4S. latar belakang masih memiliki detai lsedikita karena lensa lebar memagn memililkiki depth of filed yang dalam.


Sabtu, 03 Maret 2018

Bahasa Visual dan Muatan Cerita Sebuah Foto

KLINIK FOTOGRAFI
Tips & Catatan |ARBAIN RAMBEY
DALAM dunia foto jurnalistik, sering terlontar frase “foto yang berbicara”. Orang mudah mengatakan frase ini, tetapi sesungguhnya pemahaman akan foto yang berbicara bukanlah hal yang mudah karena sesungguhnya sebuah foto berbicara dengan bahasa visual, alias informasinya masuk ke benak terutama lewat mata.
Definisi foto yang berbicara adalah foto yang mudah dipahami, tetapi informasinya leibh dari biasa. Kalau sekadar mudah dipahami, misalnya foto sebuah pena tergeletak di meja, itu tentu bukanlah foto yang berbicara.
Sebagai contoh adalah foto seroagn wanita sedang memasukkan suara ke dalam kotak suara dalam Pemilu 2009 lalu.
Foto ini berbicara karena orang langusng tahu bahwa itu adalah foto pemilu dengna segal atrib utnya. Informasi menjadi kuat karena sang pelaku adalah wanita berkebutuhan khusus. Foto ini menjadi “sangat berbicara” karena pelakunya, suasananya, dan gesture pelakunya (yaitu sedang memasukkan surat suara). Kalau pemotretan dilakukan saat pelaku sedang diam tersenyum, “rasa” foto tentu menjadi hambar.
Misalkan yang memasukkan suara adalah manusaia biasa, walau pemotretan juga dilakukan dilakukan saat dia memasukkan surat suara ke kotak, foto itu tetap mudah dimengerti, tetapi informasinya menjadi tidak istimewa. Akibatnya, fotonya dianggap tidak “berbicara”.
Dalam kasus foto pemilu tadi, foto menjadi makin kuat setelah orang membaca teksnya. Informasinya kemudian menjadi lengkap karena nama orang, lokasi, dan kondisi lain tidak mungki nditampilkan secara visual.
Demikian pula foto orang naik sepeda motor di atas kardus. Anda tentu langsung paham bukan? Dan, setelah membaca teksnya, anda makin tahun tentang foto tersebut.
Latar belakang pengetahuan
Untuk memahami sebuah foto, dibutuhkan pemahaman dasar terlebih dahulu. Foto Pemilu di atas tentu tidak akan dipahmi orang yang berlum pernah tahu apa itu pemilu. Foot orang naik sepeda motor tentu tidak akan dipahami kalau foto itu dilihat penduduk pedalaman yang sama sekali belum pernah melihat sepeda motor.
Perhatikan foto wanita berburka dan tukang foto. Foto tesebut dibuat oleh fotografer yang merasa bahwa membuat pasfoto tetapi tetap mengenakan burka adalah hal yang aneh. Foto itu tentu tidak aneh bagi penduduk tempat foto itu dibuat bukan?
Foto hanya akan berbicara bagi orang tertentu yang punya pemahaman cukup untuk foto tersebut. Dengan kata lain, foto tidak mungkin berbicara bagi semua orang. Dalam kasus foto wanita berburka tadi, foto tidak mungkin dipahami orang yang belrum pernah membuat pasfoto bukan?
Seorang jurnalis foto sebaiknya paham untuk level mana fotonya dibuat: untuk SMA ke atas, utnuk sarjana ke atas, atau anak SD pun sebaiknya bisa paham.
Dan, kasus terakhir adalah foto garis-garis putih di padang rumput. Silakan anda berpikir itu foto apa, kemudian bacalah teksnya.
Anda tentu berpikir: wah foto itu tidak berbicara sama sekali. Tetapi, ocba anda berpikir sebaliknya. Anda diminta memotret petani yang protes dan membuang susunya. Foto seperti apa yang akan anda ambil agar orang paham pada foto Anda?[*/Tukang-Jalan.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 20 September 2016 ]

DESCRIPTION: untuk bisa memahami tulisan ini, mohon jangan membaca teks foto-foto yang ada sebelum membaca tulisannya.
KEYWORDS: bahasa visual,muatan cerita,sebuah foto.
Excerpt : Definisi foto yang berbicara adalah foto yang mudah dipahami, tetapi informasinya leibh dari biasa. Kalau sekadar mudah dipahami, misalnya foto sebuah pena tergeletak di meja, itu tentu bukanlah foto yang berbicara!.

#Petani membuang susu hasil peternakannya di Ciney, Belgia, rabu (19/9/2009). Total susu yang dibuang 3 juta liter sebagai protes atas harga jual susu yang dipatok pemerintahnya.
#Ester Yustita(22)  tetap bersemangat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislative meskipun harus menggunakan kakinya untuk mencontreng dan memasukkan surat suara di TPS 83 Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/4/2009).
#Pembonceng  nekat duduk di atas kardus yang diikat ke sadel sepeda motor di Jalan Cipondoh, Tangerang, Selasa (29/12/2009)
#Fotografer menyiapkan kameranya untuk pemotretan pas foto di sebuah tempat di Kabul, Afganisstan, Minggu (21/9/2003). Pemerintahan setempat mewajibkan wanita memakai burka.


Jumat, 02 Februari 2018

FOTOGRAFI BAWAH AIR bersama dua oma

Klinik Fotografi
Tips & Catatan |Arbain Rambey
PEKAN lalu di perairan Larantuka, NTT, berlangsung semacam jamboree fotografi bawah air. Pada sebuah kapal kayu yang bernama Benetta itu, ada beberapa fotografer bawah air terkemuka Indonesia, seperti Mulyadi Pinneng yang sudah menghasilkan beberapa buku fotografi bawah air, Gemala Hanafiah yang juga terkenal sebagai “surfer” Andy Chandrawinata, Arif Yudo Wibowo, Noldi Rumengan (yang namanya diabadikan pada sebuah spesies bawah air Kyone michthys Rumengan), Edward Suhadi, dan Dewi Wilaisono. Dari mancanegara ada Yuriko Chikuyama dari Jepang serta Suzan Meldonian dari AS.
Yang menarik untuk disoroti adalah kehadiran Dewi Wilaisono dan Suzan Meldonian ini karena keduanya adalah wanita yang secara usia sudah lanjut. Suzan yang namanya mudah dicarai di mesin pencari apa pun, juga karyanya bisa dilihat di tautan http://vyx.me/xRLvp, berusia 61 tahun. Sedangkan Dewi yang dipanggil “Mama” oleh para penyelam lain, berusia 58 tahun dan nenek dari tiga cucu. Dalam tim juga ada Andy Chandrawinata (ayah Puteri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata) yang berusia 65 tahun, tetapi tulisan ini akan terfokus pada Suzan dan Dewi.
Yang lebih menarik adalah, Suzan lebih suka menyelam pada malam hari. Dia terkenal sebagai spesialis “Black Water Photography”. Karya-karya fotografi bawah airnya memang didominasi pemotretan malam.
“Malam hari, perilaku hewan bawah air sangat berbea dengan siang hari. Menurut saya itu sangat menarik,” kata Suzan yang di Larantuka  gagal memotret malam hari akibat munculnya beberapa ular laut di sekitar kapal.
Sedangkan Dewi yang karyanya bisa dilihat di akun instagram, @dwilaisono, mengaku baru akftif menyelam dan memotret bawah air sejak delapan tahun lalu. “Anak-anak saya sudah mandiri, maka saya dan suami lalu mencari hobi baru yang menantang,” katanya.
Baik Suzan maupun Dewi bukanlah memotret asal-asalan di bawah air. Peralatan mereka adalah DSLR dengan “underwatercase” professional, disertai peralatan pencahayaan yang juga kelas atas.
“Fotografi bawah air sungguh kelas lain dari fotografi. Tantangannya banyak sekali, termasuk menguji kesabaran diri,” kata Dewi  [Sumber : Kompas, Selasa, 6 September 2016 ]


KEYWORDS: fotografi bawah air.
TAGS : bersama dua oma,zusan meldonian,dewi wilaisono.

Shrimp on Spanish dancer


Seorang Penyelam di perairan Larantuka, Kamis (25/8).



 MeSuzanldonian memotret di perairan larantuka, kamis (25/8)

Senin, 01 Januari 2018

MELIHAT 71 TAHUN Indonesia dari Buku Harian seorang Wajib Militer Belanda

Klinik Fotografi | Tips & Catatan |Arbain Rambey
FOTOFRAFI terbukti selalu bisa merekam dengan kedalaman berdimensi luas, apalagi kalau dilakuak noleh pihak yang sungguh ingin merekam sesuatu. Anda tentu bsia membayangkan betapa menariknya meliaht foto-foto tentang Indonesia dari alam sekitar kemerdekaan, dari sudut “orang luar”.
Dalam rangka peringatan 71 tahun Kemerdekaan Indonesia ini, sejak akhri pekan lalu samapi awal bulan depan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta, dipamerkan foto-foto dalam tajuk “71 tahun Bingkisan Revolusi”. Salah satu materi yagn dipamerkan adalah foto-foto dari buku harian seoarang wajib militer Belanda bernama Charles van der Heijden.
Oscara Motuloh, curator pameran ini, yang membawa aneka koleksi foto dari Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda, menuturkan bahwa menarik sekali mengangkat buku harian Charles ini.
“Charles ini bukan tentara murni. Dia adalah wajib militer, dan lebih tertarik dengan dunia jurnalistik. Dai cukup teliti mencatat, memotret, meminta foto dari rekannya. Buku hariannya sungguh dokumentasi sangat berharga tentang Indonesia pada akhir tahun ’40-an itu,” papar Oscar.
Seperti anda liaht menyertai tulisan ini, sebagian foto-foto yang ada di buku harian Charles menampilkan ralitas Jawa Timur pada tahun 1947-1950 semasa Charles berada di sana. Dalam sebuah foto, terpapar remaja pribumi yang demikian kurus, sementara di foto lain tampak pual bagaimana Gunung Bromo sudah mengepulkan asap secara permanen sejak dulu.
Selembar buku hariannya pun dengan menarik menampilkan foto Masjid Sunan Ampel pada sekitar tahun 1948 yang masih belum tertutup aneka bangunan seperti saat sekarang. Cara Charles mengatur foto-foto diantara tulisan di buku hariannya seakan dai sudha memahami apa itu photo book seperti yang dilakukan remaja sekarang.
Museum Bronbeek semakin membuka diri terhadap koleksinya dari Perang Dunia Kedua, terutama dengan arsip-arsipnya dari tentara Belanda yang pernah bertugas di Indoensia.
“Masih banyak koleksi Bronbeek yang akan dibawa ke Indonesia untuk dipamerkan. Banyak sekali, dan itu koleksi yang luar biasa berharga,” kata Oscar. [Sumber : Kompas, Selasa, 23 Agustus 2016 ]

Salah satu halaman buku harian Charles van der Heijden yang menunjukkan beberapa foto di Jawa Timur, salah satunya foto Masjid Sunan Ampel.
Orang-orang China di Malnag mengungsi karena perang.
Seorang Pribumi yang kurus kering
Gunung Bromo sekitar tahun 1947

Tentara Belanda berpatroli di sebuah tempat di Jawa Timur