Sabtu, 09 September 2017

Memotret dan Memandang Foto: Tiga Lapisan Visual

# Tampak subyektif Subyek-yangmemandang Subyekyang-memotret
Dalam buku Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan tentang Ada (2005), berdasarkan pengakuan para juru foto dalam Photography Speaks (Brooks, 1989) maupun analisis para pengamat fotografi (Barthes, Berger, Messaris, Soerjoatmodjo, Sontag, Strassler), saya telah mempertegas padan-paralel keber-Ada-an (1) juru foto dengan obyek fotonya di satu pihak; (2) pengamat foto dengan foto yang menjadi obyek pengamatannya di pihak lain; dan dalam peleburan abstraksinya masih mendapatkan kebergandaan Ada. Dalam Kisah Mata Edisi 2 (2016), saya menepis perlunya peleburan abstraksi atas paralelitas padan Juru Foto–Obyek Foto dan padan Pemandang Foto–Karya Foto untuk menemukan Ada. Namun, saya menambahkannya dengan perbincangan tentang lapisan-lapisan visual yang berkemungkinan ditembus seorang juru foto, dalam proses menuju momentum klik! Baru saya sadari kemudian, saya belum memperbincangkan padanannya: Apa yang berlangsung pada pemandang foto ketika memandang foto? Di sini catatan itu saya teruskan, sekaligus mengujikannya kepada diri sendiri, dengan menjadikan foto-foto Senjakala Kalijodo karya RA Vadin sebagai obyek pengamatan. Betapapun, saya hanya mungkin sampai kepada perbincangan itu jika mengulanginya dengan lebih tertata, seperti berikut.
Tampak Dunia bagi Juru Foto
Terdapat tiga lapisan konseptual di depan mata manusia yang menentukan makna ketertampakan di hadapannya. Lapisan pertama adalah Tampak Optis bagi mata tak buta Pada Tampak Optis, hanya terdapat makna obyektif—jika masih bisa disebut makna—bahwa apa pun yang terjangkau oleh daya tangkap mata akan terlihat. Disebut obyektif, karena ketertampakan hadir oleh fungsi mata sebagai instrumen, yakni alat untuk melihat. Dalam hal ini, manusia non-subyek, karena pikirannya tidak bekerja sebagai subyek, tetap dapat melihat karena matanya memang berfungsi, tetapi yang dilihatnya tak dapat hadir sebagai makna. Ibarat kata mobil datang ke arahnya, tak akan disadari sebagai bahaya, meski dapat dilihatnya—karena ketertampakan hadir sebatas Tampak Optis. Lapisan kedua adalah Tampak Kultural Pada Tampak Kultural, pencerapan menghadirkan ketertampakan ke dalam dua kategori, yakni (a) Tampak Visual Dikenal, jika ketertampakannya bermakna, seperti daun yang dikenalinya sebagai daun, dan daun ini akan bermakna baginya sejauh pengenalannya atas eksistensi daun; dan (b) Tampak Visual Tak Dikenal, jika ketertampakannya tidak menjadi makna, seperti pemulung melihat buku-buku sebagai tumpukan kertas yang bisa dijual kiloan, dan bukan karena isinya. Buku bermakna terutama karena isinya, tetapi bagi pemulung makna buku tergantung seberapa berat kertasnya. Suatu obyek dikenal atau tak dikenal tertentukan oleh konstruksi budaya Subyek-yang-Memandang, yang jika kemudian memotret akan disebut Subyek-yang-Memotret, karena akan sampai pada lapisan selanjutnya. Lapisan ketiga adalah Tampak Fotografis Pada Tampak Fotografis, ketertampakan menjadi khusus, yakni hadir dalam seleksi keinginan dan kebutuhan seorang juru visual, dalam hal ini juru foto, apakah ia seorang pewarta, dokumentalis, peneliti, pengiklan, atau seniman foto. Faktor keinginan akan mencerap (a) Tampak Personal, dan faktor kebutuhan akan mencerap (b) Tampak Fungsional. Dalam kategorisasi makna seperti ini, ketertampakan visual dapat dipilih dari yang dipilah, tapi dapat pula terleburkan, jika suatu obyek memenuhi keinginan dan kebutuhan sekaligus—sehingga Tampak Personal sekaligus hadir sebagai Tampak Fungsional. Seorang pewarta foto yang tidak berselera memotret pipa-pipa baja akan tetap memotretnya jika tugas menuntutnya, dan dengan suka hati memotret aktris favoritnya, ada maupun tidak ada penugasan untuk itu; sama seperti seorang ilmuwan dengan lensa mikro memotret, misalnya, unsur-unsur pembentuk spesies cacing pita baru.
Tampak Foto bagi Pemandang
Kesahihan Subyek-yang-Memandang berlangsung dalam proses yang sepintas lalu merupakan kebalikannya, yakni mulai dari fotonya, tetapi bukan untuk menjejaki proses yang sudah dilalui juru foto, melainkan untuk membongkarnya dalam pembermaknaan Subyek-yang-Memandang. Saya kira proses menuju foto pun melalui lapisan visual pertama, yakni Tampak Optis, tempat saya sebagai pemandang foto proyek Senjakala Kalijodo karya RA Vadin, menyelusuri setiap bingkai foto dalam ketertampakannya yang hitam-putih, dengan hanya satu foto berwarna sebagai foto yang terakhir. Memasuki lapisan kedua, saya kenali puing-puing penggusuran, yang memperlihatkan sejumlah penanda seperti botol-botol minuman keras, poster perempuan seksi, bekas bar, gambar perempuan yang diperlihatkan payudaranya, konstruksi ”tempat tidur” semen bertuliskan FOR SEX yang semestinya terdapat kasur di atasnya—foto-foto ini saya kira berhasil menunjukkan bahwa tempat yang digusur itu adalah wilayah kehidupan malam, bahkan lebih spesifik lagi daerah hitam atau lampu merah. Meskipun begitu, saya kenali pula penanda-penanda yang terdudukkan untuk bermakna sebaliknya, bahwa terdapat ”orang-orang biasa” yang sebagaimana warga khalayak mana pun berangkat kerja pada pagi hari, anak-anak mereka bersekolah dan mendapat ijazah, beribadah, tetapi ikut tergusur—foto-foto ini bagaikan artefak masa lalu bagi lokasi Kalijodo masa kini, yang telah menjadi pusat rekreasi serba positif dan modern, seperti ditunjukkan foto terakhir yang berwarna, bagaikan antitesa peradaban tubuh nan naluriah dalam istilah ”profesi tertua”. Secara keseluruhan foto-foto ini meruapkan kondisi kumuh, yang tampak ironis dalam kecemerlangan digitalnya. Keterpukauan atas pencapaian teknologi itu tak tersingkirkan oleh fakta muram yang merupakan informasi foto-fotonya, karena secara visual memang tak dapat diingkari. Foto-fotonya terlalu bersih untuk tempat kumuh. Hitam-putihnya masih dramatik, seperti karakter spesifik hitam-putih, tetapi hitam-putih metalik. Itulah Tampak Visual Dikenal bagi saya, selebihnya bukan tak terlihat, melainkan masuk kategori Tampak Visual Tak Dikenal, yang sangat mungkin merupakan gejala kekebalan, alias ”sudah immune”, akibat terlalu seringnya melihat foto penggusuran. Memasuki lapisan ketiga, Tampak Fotografis bagi Subyek-yang-Memotret, saya kira dapat menjadi Tampak Subyektif bagi Subyek-yang-Memandang, karena kategori Tampak Personal maupun Tampak Fungsional tergantung dan tertentukan oleh kedudukan atau sudut pandang Subyek-yang-Memandang itu. Dalam hal saya, Tampak Personal maupun Tampak Fungsional terleburkan dan mengarah kepada hanya satu foto. Dalam seluruh ruang bingkai foto itu hanya terdapat satu lukisan.
”Jaka Tarub”: Lukisan, Repro, Foto

Adapun lukisan itu sendiri cukup terkenal, jika tidak sangat dikenal, dan sangat saya kenali, sehingga tentunya dengan seketika berada di lapisan kedua, bahkan satu-satunya yang masih tampak pada Tampak Subyektif sebagai lapisan ketiga. Lukisan itu berjudul ”Jaka Tarub” (cat minyak di atas kanvas, 170 cm x 255 cm), karya Basuki Abdullah, yang paling sering mengalami reproduksi, baik dalam cetakan maupun dilukis ulang, sampai menjadi klise atas tema tersebut. Dalam foto Vadin, gambar itu mengalami cropping, dan tersematkan pada dinding berlapis tegel. Bagaimana gambar ini mendapatkan maknanya dalam konteks penggusuran daerah lampu merah Kalijodo? (Lukisan ”Jaka Tarub” dan foto atas reproduksinya di Kalijodo sebelum digusur dapat dilihat di https://duniasukab.com/?p=1100 atau http://wp.me/p44nD-hK). Pertama, jika legenda lahirnya nama Kalijodo memang tentang jodoh, atau pencarian jodoh, maka Jaka Tarub yang mengintip tujuh bidadari mandi itu mendapatkan jodoh bidadari dengan mencuri busana salah satunya, karena membuat bidadari bernama Nawangwulan itu tak bisa terbang pulang. Kedua, terhadap para pekerja seks komersial, yang menjadi obyek pemerasan sindikat prostitusi, identifikasi diri sebagai bidadari yang kehilangan busana itu mungkin. Keterbukaan tubuh-tubuh bidadari itu juga sangat mungkin membuat reproduksi lukisan Jaka Tarub terpasang di sana. Betapapun, cerita dari lukisan itu terbandingkan dengan kondisi mereka. Ketiga, bahwa Nawangwulan menemukan busana di lumbung yang kosong padi, sehingga bisa terbang pulang ke asalnya, menjadi impian yang bisa diharapkan terjadi kepada mereka, sehingga lukisan itu mendapatkan maknanya. Keterhubungan antara kisah bidadari dalam lukisan itu, dan nasib perempuan pekerja seks komersial, sahih sebagai produk bongkar-pasang berbagai pertimbangan dalam wacana penggusuran di Kalijodo, obyek foto-foto RA Vadin. Dalam wacana seperti itulah, foto yang satu ini hadir sebagai Tampak Subyektif, bagi saya sebagai Subyek-yang-Memandang. Bagi saya, inilah jalan bagi Subyek-yang-Memandang, untuk memberlangsungkan pembermaknaannya sendiri, tanpa harus mengacu—apa lagi tergantung sepenuhnya—kepada Subyek-yang-Memotret sebagai sumber makna, yang memang tidak perlu dianggap tersahih. Jadi bukan hanya pengarang yang mati ketika tulisannya dibaca, tetapi juga juru foto ketika hasil pemotretannya dipandang, yang juga berarti dihidupkan.[Kompas15 Jul 2017SENO GUMIRA AJIDARMA Wartawan]