Senin, 11 November 2019

Memahami Pengeditan Foto dalam Jurnalistik


DALAM dunia jurnalistik beredar “peraturan” yang mengatakan bahwa mengedit seubah foto batasannya adalah teknik kamar gelap. Maksudnya, mengedit foto di era digital dalam dunia jurnalistik hanya boleh dilakukan ,kalau zaman dahulu juga bisa dilakukan, di kamar gelap (proses cuci cetak foto).
Maka, kalau dijabarkan, mengedit foto digital yagn diizinkan dalam dunia jurnalistik adalah krop (memotong), membuat lebih gelap total, membuat gelap sebagian(burning), membuat lebih terang total, membaut terang sebagian (dodging), menaikkan kontras, dan memutar foto. Dalam hal tertentu, memperbaiki warna yagn salah (akibat salah white balance, atau salah memilih film) bisa dilakukan.
Banyak fotografer jurnalistik (terutama yang baru bersentuhan dengan digital) sangat takut bahwa edita nfotonya berlebihan dan melanggar asas jurnalisme (karena dia tidak bisa mengedit fotonya sendiri). Padahal, sesungguhnya, dalam dunia jurnalistik tida ada pihak yang bisa melarang siapapun karena kalau ketahuan melanggar soal mengedit ini pun hukumannya jug tidak ada aturannya.
Satu hal yang harus dipahami saat ini adalah sesungguhnya pembohongan lewat foto 99,9 persen justru bukan dari mengedit, melainkan dari memainkan teksnya. Hal itu misalnya foto dari Malaysia dikatakan dari Indonesia. Foto buatan tahun 2003 disebut dibuat kemarin dan sebagainya.
Hal lain yang harus dipahami adalah kini sangat sulit berbohong dengan fotografi. Makin banyak orang ikut memotret selain wartawan, juga makin banyak perangkat untuk menguji sebuah foto ata ukemiripan sebuah foto dengan foto lain (misalnya Google Image dan Tineye).
Dan yang paling penting diketahui adalah harga diri seorang wartawan/Koran ada pada kebenaran informasi yang dibawakan. Satu kali ketahuan berbohong, sang wartawan/Koran sulit dipercaya lagi. Ini menyangkut uang iklan yang akan masuk padanya.
Media besar akan berpikir jutaan kali untuk berbohong karena itu menyangkut uang iklan yang emmang pemasukan utamanya. Namun, tidak bisa dimungkiri, kini ada media yang memang mendapatkan uang dari pembelokan fakta.

Hasil akhir setelah proses dengan fungsi skew. Tidak ada data yang berubha dibandingkan realitas aslinya

Fungsi “skew”
Baiklah, mari kita kembali ke soal mengedit foto. Berikut ini adalah proses saya mengedit foto lama (masih memakai film) yang miring akibat ketidaktelitian saat memotret. Kemiringan foto saya tidak mungkin diedit dengan aturan konvensional. Kalau diputar, bagaian lain lagi akan miring. Maka, saya memakai fungsi skew lewat perangkat lunak, yaitu cara yang diera kamar gelap juga bisa dilakukan tetapi sulit dan membuat beberapa bagian foto jadi tidak tajam.
Mengapa menurut saya cara ini sah? Saya berani melakukan in idan membuka olahan yang saya lakukan karena hasilnya sesuai dengan realita bangunan aslinya.
Salah satu pegangan jurnalistik adalah apakah masih sesuai dengan aslinya. [Sumber  : Kompas, Selasa, 17 Januari 2017|Oleh; Arbain Rambey dalam Tips&Catatan]

Kamis, 10 Oktober 2019

Foto Jurnalistik Makin “Tanpa Beban”


Tips & Catatan |Arbain Rambey

Sekitar 21 tahun lalu, saat saya baru bergabung menjadi fotografer harian Kompas, fotografer senior Kartono Riyadi (alamarhum) mengajari saya untuk bisa mengirim foto dari luar kota atau luar negeri. Waktu itu, alat yang dipakai biasa disebut sebagai S-16, berukuran sebesar mesin tik umum dan beratnya sekitar 10 kg, bisa mengirimkan foto lewat jalur sambungan telepon. Cara kerjanya mirip alat facsimile, tetapi punya resolusi gambar jauh lebih halus dan bisa berwarna pula.
Waktu itu, kalau harus mengirim foto ke kantor pusat dari liputan di luar kota atau luar negeri, seorang fotografer harian Kompas memang harus membawa S-16 itu, ditambah perangkat alat cuci cetak foto, termasuk sebuah enlarger yang bentuknya seperti pada foto dihalaman ini. Bisa dibayangkan, beban seorang jurnalis foto untuk liputan yang penting sangatlah besar. Ditambah kamera-kamera  analog, bawaan total seorang jurnalis foto kadang sampai sekitar 50 kg.
Memasuki tahun 1990-an, ada alat baru yang disebut leafax. Dengan alat ini, seorang fotografer tak perlu membawa alat cetak lagi sebab pengiriman foto bisa dilakukan langsung dari sebuah film negative. Namun, alat mencuci film tetap harus dibawa untuk menghadapi kemungkinan tak sempat mencucikan di laboratorium foto mana pun.
Saat ini
Namun, 21 tahun kemudian ,tepatnya akhir Oktober 2011 lalu, saya bisa mengirimkan foto dari pedalaman Pulau sumba hanya dengan sebuah alat seberat beberapa gram. Computer tablet Android ukuran 7 inci yang saya bawa, lewat jalur seluler dan surat elektronik, memerlukan waktu beberapa menit saja untuk mengirimkan foto beberapa anak nelayan seperti yang ada di halaman ini.
Saat di Pulau Sumba itu pun, kamera yang saya pakai juga jauh leibh ringan daripada “kakaknya” 21 tahun yang lalu. Kalau dulu selain kameranya berat, saya juga harus membawa beberapa kamera untuk kemungkinan-kemungkinan ini: kamera berisi film BW, kamera berisi film berwarna ISO tinggi, dan kamera berisi film-film beerwarna ISO rendah. Kini, dengan sebuah kamera digital, memilih ISO tinggi, memilih hitam putih, atau memilih ISO rendah semata Cuma menekan tombol.
Kamera digital yang tidak tergantung ukuran film juga memungkinkan ukuran mini sebab cermin pun sudah bisa dihilangkan. Berat kamera electronic viewfinder interchangeable lens (EVIL) yang saya pakai dengan tiga lensa, pun tak sampai 2 kg.
Untuk mengirimkan foto, saya tinggal melepas kartu memori mini SD-nya, lalu menancapkan kartu memori itu pada computer tablet tersebut. Dalam beberapa tahun mendatang, tidaklah mustahil sebuah kamera malah bisa langsung mengirimkan foto.
Kerja menjadi jurnalis foto kini tidaklah identic dengan beban berlebihan lagi. Dengan peralatan yang makin ringan dari tahun, seorang jurnalis foto bisa bekerja “tanpa beban” lagi.

Minggu, 07 Juli 2019

JUSTIN MOTT UP CLOSE & PERSONAL


#CANON 5D MARK III
Cameracanon.blogspot.com – The Jakarta Post February 18, 2015 by Hans David Tampubolon|Jakarta – AWARD-WINNING photographer Justin Mott remembers fondly the day he feel in love with photography and deiced to shift his passion from writing to taking high quality, intimate photos.
“My family all chipped in and bought me a digital camera. So for my birthday, they all paid a little bit of money back then,” he told The Jakarta Post recently when he came to town.
“It must have been 2002 or 2001. I got my first digital camera and I used my free time on Saturdays and Sundays walking around San Francisco doing street photography.”
Now, more than a decade later, Mott, who was born in 1978 in Rhode Island, US, has become one of the world’s most well-known photographers, both for his photo journalism and commercial work.
Most said great photographers spent lots of time with their subjects to really capture them. Once, he spent six years documenting the life of an agent orange victim, a project of which he is truly proud.
His weapon of choice for photography mirrors his philosophy – he isn’t a fan of taking photographs using zoom lenses. Instead, he’d rather be as close as possible to this subject.
CANON 5D MARK III
I use a Canon 5D Mark III and I use all prime lenses, so it depends on the shoot. I shoot videos with it too. If I’m going on an editorial assignment, I might just take a fix 14.14.
If I’m on a wedding shoot, I’ll take more lenses because I have more time. I use prime lenses from the 17 tilt shift to the 24. My favorite lens is the Canon 35 1.4. I spent an entire year just shooting with that lens. It’s the prime lens for me, it makes me move.
Zoom lenses can make you be a lazy photographer so when I go out, this lens makes me move around and really captures the objects. The quality is amazing.
APPS
I use Lightroom. Lightroom is so powerful now. A couple of years ago, it wasn’t but [now] I can do everything I need with my photography with it.
Around 90 percent of editing I do with Lightroom. I use it for commercial jobs, wehre we have to move things or add things. A lot of my photography is natural so there is not a lot of post production. Sometimes I use Photoshop.


DESCRIPTION: award winning photographer Justin Mott remembers fondly the day he feel in love with photography and deiced to shift his passion from writing to taking high quality, intimate photos.
KEYWORDS: premium,camera,gadget,photography,digital, photographers, journalism,lightroom.
TAGS : canon 5d mark III,digital camera.

Kamis, 06 Juni 2019

Memahami Fotografi dengan FPS Tinggi


SAAT perusahaan Olympus mengeluarkan kamera EM1 Mark 2 tipe mirrorless (tanpa cermin) pada awal November lalu, banyak orang bertanya-tanya untuk apa kemampuan rekam dengan kecepatan bingkai yang begitu tinggi. Seperti diberitakan, kamera itu mampu merekam dengan kecepatan bingkai sampai 60 bingkai per detik alias 60 FPS (frames per seconds).
Saat ini, kamera DSLR (digital single lens reflex) hanya mampu merekam gambar sampai 14 FPS. Adanya cermin yang berayun pada DSLR menyulitkan kamera tipe ini untuk bisa merekam dengan FPS lebih tinggi lagi. Sementara itu, rata-rata kamera mirrorless sudah bisa merekam foto dengan kecepatan sampai sekitar 2-fps. Tetapi, sampai 60 fps, sungguh orang lalu bertanya: untuk apa?
Merekam proses
Sesungguhnya, kebutuhan akan merekam dengan fps sangat tinggi sudah dibutuhkan orang sejak dahulu. Kebutuhan ini umumnya menyangkut proses penelitian akan sesuatu yang bergerak. Dalam bidang olahraga, analisis dengan proses stroboskopik, yaitu pemotretran dengan pencahayaan khusus, sering dilakukan untuk mengamati kesalahan-kesalahan gerak atlet.
Di halaman ini terpasang sebuah foto stroboskopik tentang gerakan seorang pemain golf dalam memukul bolanya. Foto jenis inilah yang disebut foto stroboskopik yang merekam aneka gerakan dalam atu bingkai melalui pencahayaan yang berkali-kali dalam waktu singkat.
Sesungguhnya, kemampuan rekam Olympus EM1 Mark 2 itu sangat berguna untuk mengamati gerak seperti yang saya coba saat memotret kejuaraan berkuda ekuisterian cinta Indonesia Terbuka di kompleks berkuda Adria Pratama Mulya, Cikupa, Banten, akhir pekan lalu.
Gerakan kuda melompat dari mulai meninggalkan tanah sampai menjejak tanah lagi terekam dalam 80 bingkai foto. Dari rangkaian foto-foto itu terlihat bagian kaki kuda mana yang menyentuh palang lompatnya.
Dulu orang memakai video untuk merekam gerak, tetapi video yang dibekukan umumnya merupaka nfoto yang tidak bermutu tinggi. Dalam kasus pemotretan fps tinggi ini, tiap bingkai fotonya merupakan foto resolusi tinggi alias berukuran 5.184 x 3.888 piksel alias sekitar 20 megapiksel.
Keunggulan pemotretan dengan fps tinggi seperti ini adalah tiap gerakannya ada dalam bingkai tersendiri, tidak menumpuk seperti pada foto stroboskopik. Selain itu, pemotretan fps tinggi juga tidak memerlukan pencahayaan khusus, bahkan bisa berlangsung di tempat terbuka dan terang.
[*/CCblogspot.com  dari Sumber : Kompas, Selasa, 15 November 2016 ]


DESCRIPTION: Fotografi memang selalu membuka peluang visual. Kemampuan seorang fotografer untuk “mengolah” apa yang dilihatnya sebelum memotret akan sangat memengaruhi hasil pemotretannya
KEYWORDS: FPS,frame per second.
Excerpt : Fotografi buat saya bukan melulu mengenai merekam gambar yang mengharuskan tercapainya focus agar mendapatkan gambar yang tajam. Fotografi adalah sebuah perjalanan yang tak akan selesai, jika kaidahnya hanya diukur dari pencapaian teknis, maka berarti kita telah mematikan jalan panjang fotografi.
TAGS : Olympus EM1 Mark 2,foto stroboskopik,

# Sebanyak 80 foto berurutan sejak kuda mulai melompat sampai mendarat lagi di tanah, termasuk jatuhnya palang halangan, terekam dalam foto-foto yang masing-masing 20 MP.
#Foto terakhir dari rangkaian pemotretan kuda melompat berukuran 20 Mp.

Minggu, 05 Mei 2019

Mudik, Momen Fotografi Berulang


Ada yang mengatakan bahwa foto suasana mudik selalu begitu-begitu saja. Mengapa selalu dipotret lagi? Harian ”Kompas” selalu memuat foto mudik ataupun suasana arus balik dari tahun ke tahun dan memang fotonya hampir mirip dari tahun ke tahun itu.
Mudik Lebaran mulai awal tahun 2000-an marak menggunakan sepeda motor. Kiri atas 2003, kanan atas 2016.
Betul. Suasana mudik memang selalu begitu saja, tetapi sesungguhnya adegan itu adalah penanda zaman. Sebenarnya selalu ada perubahan signifikan dari waktu ke waktu, termasuk bagaimana cara memotretnya. Sampai akhir tahun 1990-an, foto mudik di Kompas biasanya orang berebut masuk bus atau kereta. Walau selalu itu-itu lagi, orang tetap tertawa melihat adegannya. Mulai awal 2000-an, saat sepeda motor makin mudah didapatkan, orang mulai mudik menggunakan sepeda motor. Kompas pertama kali memotret mudik dengan sepeda motor pada 2003 dan sampai tahun lalu, 2016, masih dilakukan dengan berbagai varian. Suasana mudik lain adalah kemacetan parah di jalan yang dilalui pemudik, yaitu jalur pantai utara dan jalur tengah lewat Nagreg, Jawa Barat. Memotret kemacetan tentu membutuhkan sudut pemotretan tinggi. Sebelum Kompas memakai drone, hal itu harus dicapai dengan naik pohon atau naik ke bukit. Kemacetan di Nagreg tahun 2009 dipotret dengan naik bukit, sementara mulai 2015 Kompas sudah memakai drone. Walau memakai drone, foto 2015 dan 2016 ada bedanya. Beda ini sungguh penanda zaman yang menantang kita untuk berpikir tahun 2017 ini. Pada 2015, jalan tol pantura belum mencapai Jawa Tengah sehingga fokus pemotretan masih sekitar Cikampek. Tahun 2016, jalan tol pantura sudah mencapai Brebes, Jawa Tengah, maka pemotretan dilakukan di sana. Pada tahun ini, jalan tol pantura sudah makin ke timur. Pemotretan pasti tidak akan dilakukan di Brebes lagi bukan? Dalam dunia jurnalistik, kejadian yang selalu berulang justru akan selalu diliput karena itu merupakan catatan perubahan. Selalu ada perbedaan dari waktu ke waktu pada adegan-adegan yang dilakukan manusia, apa pun itu. [Sumber : Kompas, Selasa, 20 Juni  2017 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]
#Mudik lebaran mulai awal tahun 2000-an untuk menggunakan sepeda motor.,

Kamis, 04 April 2019

Memahami Estetika Foto Jurnalistik


PEKAN lalu, rubrik KLIK telah membahas soal etika dalam foto jurnalistik. Kali ini yang akan kita bahas adalah estetika, atau masalah keindahan visual sebuah foto. Almarhum Kartono Ryadi, redaktur fotografi harian Kompas 1980-1996 dan 2000-2003, mengatakan bahwa foto jurnalistik berhak dan wajib tampil indah.
Kartono Ryadi yang biasa disapa KR ini menegaskan bahwa foto yang biasa-biasa saja tidaklah menarik orang untuk menyerap informasinya. “Koran tidak cuma jualan informasi. Kalau penampilan sebuah koran tidak menarik, orang tidak akan tertarik membaca atau membelinya” kata KR kalau memberikan pembekalan kepada fotografer baru Kompas.
Lebih jauh, KR pernah mengatakan ini, “Kalau memotret usahakan menjauhi kamerawan televisi. Jangan sampai fotomu cuma versi diam dari adegan yang sudah disaksikan orang di televisi.”
Berpikir Beda
Pedoman yang diberikan almarhum KR sebenarnya masalah estetika. Seorang jurnalis foto harus selalu berpikir untuk menghasilkan foto menarik, berbeda dengan karya fotografer lain yang memotret acara yang sama. Bayangkan kalau semua koran memasang foto yang mirip. Sangat membosankan.
Foto Candi Borobudur yang dipotret dari Punthuk Setumbu bisa dikatakan dipopulerkan harian Kompas setelah dimuat sebagai headline pada 2 Januari 2004. Sebelumnya, Candi Borobudur umumnya hanya dipotret dari tempat terdekat. Setelah pemuatan itu, sangat banyak telepon datang ke redaksi menanyakan tempat pemotretan yang kini makin populer setelah muncul di film Ada Apa dengan Cinta 2.
Demikian pula suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2003 pasca penyerangan Amerika Serikat ke Timur Tengah pada Perang Teluk 2. Pemotretan dengan sudut rendah dengan latar belakang matahari, menghasilkan foto yang tidak sekadar tampak itu suasana bongkar muat.
Akan halnya foto pertandingan voli yang dipotret dari atas Istora, Senayan, Jakarta, sesungguhnya tidak selalu bisa dilakukan karena tergantung adanya tangga yang tersedia. Tangga hanya tersedia biasanya setelah terjadi proses perawatan, dan hanya fotografer yang jeli yang memanfaatkannya. Almarhum Julian Sihombing telah memakai tangga itu sejak awal 1990-an, terutama untuk memotret pertandingan bulu tangkis.
Tak bisa dilupakan suasana demo mahasiswa pada peristiwa Mei 1998 karya Eddy Hasby yang memakai teknik backlight. Demo yang biasanya tampil “menyeramkan”, justru tampil indah. Foto ini juga menjadi sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu. [Sumber : Kompas, Selasa, 25 April  2017 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]
#Halaman Pertama harian Kompas edisi 2 januari 2004 dengan foto borobuder kaya Eddy Hasby
#Bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Maret 2003
#Pertandingan voli proliga di istra senayan, Jakarta , april 1016

#Demo mahasiswa tahun 1998

DESCRIPTION: perkembangan teknologi yang makin baik membuat makin mudahnya sebuah berita, baik tulis maupun foto, diakses siapa pun. Foto-foto yang menakjubkan dalam waktu singkat sudah menjadi santapan mata dan batin siapa pun yang punya akses atasnya. Di sastu sisi, kemapuan membuat foto bagus mudah “menular” di antara sesame fotografer. Tapi, di sisi lain, muncul pula foto-foto yang menjadi klise karena idenya menjadi terlalu umum. Memagn tak ada penjiplakan secara langsung di sini. Yang ada adalah endapan ide di benak hasil melihat foto lain, lalu ide itu menjadi pemicu saat membuat sebuah foto dalam situasi yang mirip.

Minggu, 03 Maret 2019

FOTO-foto yang Jadi Klise dalam Lingkup Jurnalistika


SEBAGAI contoh pertama adalah foto antrean. Memotret sekadar orang yang berderet menuju suatu titik sungguh membutuhkan pendekatan yang baik agar fotonya tidak tampil membosankan.
Hal pertama yang dicari seorang fotografer saat akan memotret antrean adalah mencari sebuah titik perhatian yang akan menjadi point of interest (POI) fotonya.
Pada keempat foto antrean yang ada di halaman ini terlihat bahwa POI keempat foto adalah “anak kecil yang terjepit”. Apakah keempat fotografer pada keempat foto itu saling meniru? Tidaklah begitu.
Foto “tertua” pada keempat foto itu adalah karya Agus Susanto dari Kompas, yaitu foto yang di kiri bawah. Diambil tahun 2005, foto tersebut menggambarkan antrean minyak tanah. Adapun foto kanan atas adalah foto yang dibuat tahun 2007 pada kelaparan di Pakistan. Foto kiri atas dibuat tahun 2010, juga di Pakistan, saat terjadi banjir besar di negara itu.
Tak ada satu pun dari keempat fotografer antrean yang sempat melihat karya lainnya. Keempat fotografer mendapat ide yang sama dari berbagai sumber, mungkin dari internet atau juga media cetak mana pun.
Sebenarnya, foto antrean dengan menonjolkan anak kecil terjepit di bawah sadar telah menjadi “template” umum di kalangan jurnalis foto. Dan karena sekarang sudah menjadi klise, pendekatan “anak kecil terjepit” sebaiknya memang tidak dipakai lagi.
Pendekatan boneka
Kemudian perhatikan tujuh foto di kelompok bawah halaman ini. Apa yang menonjol?
Boneka! Benar…boneka selalu ada di pojok bawah ketujuh foto itu. Enam foto di sebelah kiri adalah foto-foto dari Timur Tengah. Pada beberapa pengeboman, tentu ada anak keicl yang jadi korban. Dan biasanya “jejak” akan adanya korban anak keicl adalah dari ditemukannya boneka di tempat kejadian.
Seorang fotografer biasanya akan membuat POI pada boneka yang ditemukan itu. Dengan demikian, pas sudah fotonya menceritakan kekejaman perang yang tak kenal usia.
Namun, kalau foto boneka muncul begitu banyak, timbulah pertanyaan: apakah boneka itu benar-benar  ada di lapangan? Apakah tidak mungkin fotografernya membawa boneka sendiri?
Pada foto kanan bawah, pada peristiwa banjir lahar dingin Merapi pun, akhirnya “foto boneka” muncul!
Saat ini dunia teknologi sudah begitu maju. Satu foto yang bagus kan dilihat miliaran manusia. Foto yang idenya mirip dengan foto hebat sebelumnya pelan tapi pasti tidak akan dianggap sebagai foto yang baik. Menghindari foto klise saat ini sudah menjadi kewajiban jurnalis foto mana pun yang ingin maju.
Klise-klise lain
Selain kedua contoh di atas, foto klise lain dalam dunia jurnalistik, misalnay foto jam di tengah bencana. Kita tentu ingat benar saat tsunami Aceh 2004 lalu ada foto jam yang ditemukan di lumpur. Jam itu sudah mati, dan posisi saat dia mati tepat ketika tsunami terjadi. Foto jam ini juga muncul saat gempa Yogya tahun 2006.
Perwarta foto Kompas, Lucky Pransiska, menceritakan bahwa saat dai meliput bencana di Mentawai akhr tahun lalu, beberapa fotografer sudah siap akan “mengatur” sebuah jam yang ditemukan di lapangan.
Dalam kancah foto politik, foto-foto klise antara lain pemukulan gong, pengguntingan pita, atau seorang pemimpin berpidato dengna posisi tangan menunjuk ke atas.
Memang tida ada yang salah dengan foto yang  klise sejauh fotonya bisam enyampaikan pesan dengan baik dan benar. Namun, dalam dunia yagn seharusnya memang makin baik, jurnalis foto di mana pun dituntut untu selalu berpikir, berpikir, dan berpikir saat membuat foto.
Foto adal hberita juga, maka foto yang baik adalah santapan mata dan batin yang sangat baik. [Sumber : Kompas, Selasa, 10 Mei 2011 | Tips & Catatan |Arbain Rambey]

#Dengan kedua kaki palsu, Agus Murtado tetap hidup normal dan berbagai perjalanannya.

#Kedua kaki Agus Murtado adalah kaki palsu

#Melayani Pelanggan

#Dengan ruang kerja sempit dan segala keterbatasan fisik, Agus Murtado bekerja keras mencari nafkah.

#Hanya dengan tangan kanan yang berfungsi normal, Agus Murtado memanfaatkan mulut sebagai pengganti tangan kirinya.

DESCRIPTION: perkembangan teknologi yang makin baik membuat makin mudahnya sebuah berita, baik tulis maupun foto, diakses siapa pun. Foto-foto yang menakjubkan dalam waktu singkat sudah menjadi santapan mata dan batin siapa pun yang punya akses atasnya. Di sastu sisi, kemapuan membuat foto bagus mudah “menular” di antara sesame fotografer. Tapi, di sisi lain, muncul pula foto-foto yang menjadi klise karena idenya menjadi terlalu umum. Memagn tak ada penjiplakan secara langsung di sini. Yang ada adalah endapan ide di benak hasil melihat foto lain, lalu ide itu menjadi pemicu saat membuat sebuah foto dalam situasi yang mirip.
KEYWORDS: antrean,point of interest,poi,jadi klise,lingkup jurnalistik,foto-foto.
TAGS :  Agus Murtado.

Sabtu, 02 Februari 2019

Merasakan Foto yang Memakai Tele

Pekan lalu, banyak sekali pertanyaan datang kepada saya tentang foto seorang warga negara Indonesia di Arab Saudi yang sedang ditanya-tanya oleh kepolisian setempat. Pertanyaan-pertanyaan itu muaranya hanya dua, yaitu ”apakah foto itu dibuat dari jauh dengan lensa tele” dan ”tele berapa milimeter yang dipakai”.
Inti tulisan ini bukanlah membahas foto tersebut, melainkan ingin memberikan gambaran bahwa foto yang memakai lensa tele itu cukup mudah dirasakan. Namun, untuk menduga berapa milimeter lensa tele yang dipakai itu hampir tidak mungkin karena kita harus tahu dulu kamera apa yang dipakai, kondisi asli tempat pemotretan, dan juga apakah fotonya dipotong lagi atau dibiarkan utuh.
Sebuah foto yang dibuat memakai lensa tele (alias lensa yang panjang focal-nya lebih dari 50 milimeter) tampak dari efek
compaction atau latar belakang foto yang ”mendekat”. Foto kemacetan lalu lintas yang dibuat fotografer Kompas, Lasti Kurnia, sekitar sepuluh tahun yang lalu menunjukkan bahwa mobil-mobil di area A ukurannya tampak hampir sama dengan mobil-mobil yang ada di area B. Padahal, jarak area A dan area B lebih dari 200 meter.
Lasti memakai lensa tele dan memotret dari jauh. Mobil di area A dan mobil di area B punya jarak relatif yang hampir sama terhadap Lasti. Kalau saja Lasti berada di dekat area A, tentu foto-foto di area A akan tampak besar sementara mobil-mobil di area B akan tampak kecil.
Demikian pula foto di Arab Saudi itu. Mobil di latar belakang itu tampak besar, jelas menunjukkan efek compaction ini. Kita tidak bisa tahu berapa milimeter lensa tele yang dipakai karena kita tidak tahu ukuran sebenarnya mobil yang menjadi latar belakang itu, juga jarak pemotretannya.
Akan halnya berbeda kalau kita melihat foto tiga penari. Foto itu saya buat dengan lensa 200 milimeter dari jarak sekitar 15 meter. Ukuran badan penari di latar belakang tampak lebih kecil dan kita tahu benar bahwa ukuran badan dia relatif sama dengan ukuran badan penari lain. Kalau saja kita ada di lokasi pemotretan lalu membandingkan ukuran tubuh latar belakang dengan latar depan, kita mudah menebak ukuran tele yang dipakai.
Sebagai penutup, coba perhatikan foto portrait Ringgo Agus Rahman yang saya buat sekitar sepuluh tahun yang lalu dengan lensa lebar (lawannya lensa tele). Kakinya tampak kecil dan jauh bukan? Itu adalah efek kebalikan lensa tele. Jadi, lensa tele itu mendekatkan yang jauh, sementara lensa lebar menjauhkan yang dekat.[Sumber: Kompas, Selasa, 13 November 2018|Oleh: Arbain Rambey]

Rabu, 23 Januari 2019

Memilih Lensa Bekas


ORANG bilang fotografi adalah hobi yang mahal. Maksudnya modal untuk membeli kamera dan lensanya cukup besar. Namun, ternyata banyak fotografer, utamanya yang memotret untuk hobi bukan profesi, membeli lensa seken sebagai pasangan kameranya.
Bila harus membeli lensa bekas, periksa terlebih dahulu keadaan seluruhnya. Kemudian goyangkan lensa perlahan, tetapi cukup untuk mengetahui atau mendengar bila ada elemen gelas di dalam lensa yang tak terpasang dengan baik atau terlepas.
Kemudian, periksa bagia ndepan dan belakang lensa. Jangan membeli lensa dengan bagian depan atau belakang yang sudah tergores, retak, atau pecah kecil.

Lalu, arahkan bagian dalam lensa ke sumber cahaya, untuk mempelajari kondisinya. Bila terdapat sedikit debu masih 0ke-oke saja, atau bila terlihagt adasedikit jamur masih bisa dibersihkan atau diservis. Namun, jangan membeli lensa yang bagian dalamnya sudah berjamur tebal atau terpapar partikel asing.
Cobakan lensa itu pada kamera anda dan pastikan semau fungsi kamera dan lensanya berjalan normal. Periksa juga aperture dalam lensa menutup sesuai pengesetan saat memotret. Adna bisa membuka bagian belakang kamera, setel ke dalam mode Bulb, dan tekan tombol shutter. Lakukan tes ini pada seluruh rentang aperture lensa.
Kemudia periksa fungsi autofocus pada lensa dan harus bekerja dengan normal dan akurat. Periksa pula manual focus ring pada lensa. Pastikan komponen ini berfungsi dengan baik, tanpa suara atau sendatan pada mode manual focus.
Bila memilih lensa tipe zoom, yakinkan juga mekanisme zoom berjalan dengan halus dan lancer. Jangan membeli lensa dengan mekanisme zoom yang tersendat, terlalu keras, atu terlalu kendor.
Terakhir, teliti filter thread pada bagianru depan lensa. Bagian ini seharusnya tidak terdapat kerusakan atau kemacetan. Lakukan saja pengujian dengan memasang sebuah filter pada lensa tersebut.

Senin, 21 Januari 2019

Fotografi Digital adalah Jepang!


SIAPA berani membantah bahwa saat ini kalau membicarakan fotografi adalah membicarakan buatan Jepang? Kameran non-Jepang yang masih banyak terdapat di pasaran tinggal Leica (yang harganya sangat tinggi untuk kelasa yang sama dengan sebuah kamera Jepang) dan Kodak.
Namun Leica pun seperti tipe M9, memakai bagian dalam Kodak, yaitu sensor Kodak KAF-18500 CCD, sementara perusahaan Kodak belum lama berselang telah menyatakan diri bangkrut. Akan halnya PhaseOne (Denmark), itu adalah kamera untuk kelas sangat khusus dan jelas bukan kamera yang akan terlihat di jalan-jalan atau di rumah-rumah penduduk.
Fotografi saat ini adalah digital dan teknologi ini dipegang habis-habisan  oleh Jepang. Sadarkan Anda bahwa Cina pun tak bisa membuat barang-barang “KW” untuk jenis kamera DSLR? Bahkan, Jerman yang dulu begitu tangguh dalam perfotografian kini sulit mengejar Jepang karena, bagaimanapun, membuat kamera digital tidak cukup hanya memiliki teknologi lensa yang canggih seperti yang selama ini menjadi kekuatan Jerman.
Canon versus Nikon
Membicarakan kamera Jepang, tentu dua yang menonjol adalah Canon dan Nikon. Sampai saat ini pun saya selalu mendapat pertanyaan: bagus mana Nikon atau Canon?
Jawaban saya selalu sama: kalau memang ada yang lebih bagus, masak, sih, sampai sekarang belum ketahun juga? Namun, kalau membicarakan jumlah penjualan, canon melalui salah satu petingginya. Masaya Maeda, pada awal bulan ini mengatakan bahwa mereka menguasai 45 persen padar DSLR dunia. Beelum sampai setengah. Akan tetapi, mengingat masih beigtu banyak merek lain (Nikon, Olympus, sony, Casio, Pentax, Samsung, BenQ dan lainnya), boleh dikatakan Canon saat ini menguasai pasar dunia.
Karena data dari Canon itu tak ada yang membantah, juga dengan realitas yang ada, yaitu hamper di semua acara besar-mulai dari olimpiade hingga perang di Timur Tengah-lensa putih (khas Canon) tampak di mana-mana, Canon memang paling banyak digunakan saat ini. Namun, mengatikan jumlah penjualan dengan mutu memang tak selalu benar, seperti juga Toyota kijang yagn penjualannya sangat tinggi, tetapi tak begitu saja bisa disebut yang terbaik. Buktinya, anggot DPR tentu tak mau mobil dinasnya Kijang bukan?
Dari ajang pameran fotografi CP+ di Yokohama, Jepang, awal bulan ini, memang terlihat bahwa Canon sangat “Kuat” Stand pamerannya terbesar, disusul Canon yang membuka stand persis di sebelahnya. Di akhon meraih medali mas, disusul Nikon yang meraih medali perak. Siapa yang meraih perunggu? Olimpus!
Baiklah semua yakin bahwa dua besar dunia memang masih Canon dan Nikon. Membicarakan siapa nomor tiga sungguh sulit. Sampai beberapa tahun lalu, penjualan kamera saku tertinggi masih dipegang Sony. Pada pameran CP+ lalu, Olympus menyita perhatian karena menghadirkan kamera OMD atau OM Digital.
Pada tahun 2009, Olympus menelurkan kamera jenis baru yang disebut mirrorless. Pelan, tapi pasti, kamera jenis ini menarik minat para fotografer dan produser. Penjualan kamera mirorrless di seluruh duni sangat tinggi, termasuk di Jepang. Satu persatu perusahaan kamera Jepang memproduksi jenis ini dan hanya Canon yang belum melakukannya.
Dalam pameran CP+ lalu harus diakui bahwa primadona pameran memang EOS 1SX (Canon), Dr serta D800 (Nikon), dan OMD (Olympus). Kamera OMD memagn menarik perhatian karena bentuknya sangat “retro”, mengangkat kembali pamor kamera jenis OM yang Berjaya di era film. Kalau Anda penggemar film-film James Bond, salah satu kamera yang peranh dipakai agen rahasia Inggris itu adalah Olympus OM.
Sampai lima tahun mendatang, saya berani memastikan bahwa Jepang (terutama Canon) masih merajai perkameraan digital. Bagi Anda, mungkin pertanyaanya nanti sudah bukan Cuma: Canon atau Nikon? Mungkin banyak lagi pilihan.[Sumber: Kompas, Selasa, 28 Feberuari 2012\Oleh Arbain Rambey]

Selasa, 01 Januari 2019

Photokina 2018 dan Evolusi Fotografi/Videografi

Realitas saat ini, kebutuhan kadang ditentukan dengan kemunculan barang baru. Perusahaan elektronik dari Jepang, Panasonic, pada Photokina 2018 (pameran fotografi dua tahunan dunia) di Cologne, Jerman, akhir bulan lalu, mengumumkan sedang menyiapkan kamera untuk rekaman video 8K pada Olimpade Tokyo 2020 mendatang.
PERTANYAAN yang lalu mengemuka adalah apakah kita perlu 8K? Untuk menjawab itu, kita bisa melihat ke belakang. Dulu saat VCD dibuat pada awal tahun 1990-an menggantikan video VHS, orang mera puas menyaksikan video dari VCD. Kemudian kemunculan DVD pada akhir tahun 1990-an membuat orang lalu melupakan VCD. Demikian pla sat Bllue Ray muncul, orang lalu melupakan DVD. Kebutuhan orang meningkat sejalan dengna kemajuan teknologi, bukan sebaliknya.
Sistem “mirorless”
Panasonic bisa dikatakan membuat evolusi fotografi pada 2008 bersama Olympus menciptakan system kamera mirrorless. Saat ini, bisa dikatakan semua perusahaan fotografi sudah mulai meninggalkan system DSLR dan memakai system baru yagn dimotori Panasonic dan Olympus ini.
Pada 2008 it uPanasonic memilih sensor Micor Foruth Third (MFT) untuk system mirrorless-nya dan ini bertahan sampai sekarang. Selam ini sensor MFT secara umum bisa memenuhi kebutuhan umum fotografi.
Sementra itu, perusahana-perusahaan lain memilih sensor APSC, seperti Sony yang memulai system mirrorless sejak 2009, juga Fuji dan Cannon. Mirrorless yang memakai sensor Fullframe (36cm x 24cm) pertama adalah Sony lewat seri A7 pada 2013.
Namun di Photokina 2018 ini pula, Panasonic secara mengejutkan mengumumkan akan memperoduksi ssestem mirrorless dengan sensor fullframe. Ada yang menyebut bahwa Panasonic “mengikuti” Sonny, juga Canon dan Nikon, yang memulainya sejak beberapa bulan lalu.
Pertanyaan yang lalu mengemuka adalah, apakah Panasonic menyerah denga nkemajuan MFT yagn dirasa kurang cepat?
Menurut Toshiyuki Tsumura, Kepala Perencanaan Produk Panasonic, Panasonic sedagn berusaha melompat secara teknologi. “Sistem MFT kam ibagus sekali, bukan? Nah, kami sekarang merencanakan kamera baru dengan sensor yang ukurannya dua kali MFT, jadi pasti hasilnya leibh bagus lagi,” katanya kepada Kompas dan dua praktisi videografi dari Indonesia, Goen Rock dan Beny Kadar, dalam wawancara khusus di Cologne.
Sesungguhnya, kamera mirrorless dengan sensor fullframe buatan Panasonic yang akan beredara tahun ini tersebut bukanlah terbaru “baru” bagi konsorsium penciptanya (Panasonic, Leica, dan
Sigma) dan bukan sangat baru karena system ini ternyata sudah ada, yaitu Mounting L dari Leica.


Sistem fullframe sesungguhnya adapatasi dari system film yang merekam dalam rekaman 36 cm x 24 cm. Dan system ini pertama kali dipakai Leica  pada 1927 lewat Leica 1. Sistem fullframe adala hsistem dasr yang diawali oleh Leica dan kin populer lagi dalam era digital.

Kamera baru rancangan tiga perusahaan ini cukup siap karena sudah mempunya 11 lensa yang bisa dipakai, yaitu 8 dari Leica dan 3 dari Panasonic sendiri. Sementra perusahaan Sigma akan menghasilkan lensa-lensa lapis keduanya.
Sampai kapan perekembangan kamera akan berlangsung?


Jawabannya adalah, tidak akan pernah berhenti. Selama inovasi bisa dilakukan, kebutuhan manusia akan menyesuaikannya.  [Sumber : Kompas, Selasa. 2 Oktober 2018|Oleh : Arbain Rambey]